Blog ini adalah sarana berbagi informasi tentang amalan, doa dan dzikir serta tatacara dan manfaatnya

Senin, 03 April 2017

CIUNG WANARA



Suatu ketika Raja Siliwangi memanggil seorang resi yang bernama Sidik Wicaksana. Lelaki itu adalah seorang pertapa di Gunung Pandan. Ia dikenal sangat sakti dan pandai meramalkan sesuatu yang akan terjadi. Raja Siliwangi meminta agar Resi Sidik Wicaksana meramal keadaan kerajaan Galuh Pakuwon di masa yang akan datang.
“Suatu saat Kerajaan Galuh Pakuwon menjadi tidak aman. Keadaan yang selalu terjadi persengketaan itu setelah paduka lengser dari tahta,” ujar Resi Sidik Wicaksana.

“Apakah persengketaan itu berasal dari kerajaan lain?” Tanya Prabu Siliwangi. “Tidak. Tetapi dari dalam negeri sendiri. Persengketaan itu karena putra-putra Paduka berebut kekuasaan.” “Benarkah, “ Prabu Siliwangi ragu. Namun Resi Sidik Wicaksana berusaha untuk meyakinkan ramalannya.
Sebenarnya Prabu Siliwangi agak percaya dengan ramalan itu. Untuk meyakinkan hatinya, maka pada suatu kesempatan ia menguji kesaktian Resi Sidik Wicaksana kembali. Raja Siliwangi mempunyai seorang permaisuri dan seorang selir.
Permaisurinya bernama Dewi Ningrum, sedangkan selirnya bernama Dewi Pangreyep. Permaisurinya diminta untuk berdandan seperti layaknya wanita hamil. Dewi Ningrum kemudian mengganjal perutnya dengan sebuah bokor. Begitu juga sang selir, Dewi Pangreyep mengganjal perutnya dengan kuwali.


Keduanya seperti orang yang benar-benar hamil. Resi Sidik Wicaksana kemudian diminta untuk meramalkan anak yang dikandung kedua wanita itu.

“Permaisuri dan selirku sama-sama hamil. Maka ramalkanlah anak mereka!” kata Prabu Siliwangi berpura-pura. Sidik Wicaksana kemudian berkata, “Semuanya akan lahir laki-laki.”

Prabu Siliwangi merasa ditipu oleh Resi Sidik Wicaksana. Karena sebenarnya, permaisuri dan selirnya tidak hamil. “Kau Resi pembohong, Kau ngawur! Sesungguhnya permaisuriku dan selirku tidak hamil.” “Benar, mereka hamil, Paduka. Aku tidak bohong!” ujar Resi Sidik Wicaksana.

Tanpa banyak bicara Prabu Siliwangi mencabut keris dan membunuh sang Resi. Seketika itu Resi Sidik Wicaksana roboh ke tanah. Namun dengan sangat ajaib, tubuhnya berubah menjadi ular besar berkulit belang-belang. Seisi istana menjadi panik. Ular itu kemudian disebut Kiai Poleng. Perlahan-lahan Kiai Poleng pergi kembali ke Gunung Pandan.

Sesaat setelah kepergian Kiai Poleng, Dewi Ningrum maupun Dewi Pangreyep mengeluarkan kuali dan bokor dari balik pakaiannya. Namun mereka ternganggah karena keduanya benar-benar hamil. Prabu Siliwangi pun tercengang menghadapi keajaiban itu. Sadarlah ia bahwa Resi Sidik Wicaksana memang seoarng yang sakti mandraguna. Ia sangat menyesal mengapa melakukan perbuatan yang sangat tercela.
Berhari-hari setelah kejadian itu, Prabu Siliwangi sering tertegun seorang diri. Hatinya gunda. Ia benar-benar percaya bahwa ramalan sang Resi benar. Ia juga cemas karena memikirkan kelak keturunannya akan membuat kekacauan dan merebutkan tahta kerajaan.

Prabu Siliwangi kemudian memanggil Patih Pakebonan. Untuk sementara waktu, roda pemerintahan kerajaan Galuh diserahkan kepada sang Patih. Ia pergi bertapa ke tempat sunyi untuk mententramkan hatinya. Hari-hari sepeninggalan Prabu Siliwangi, perut Dewi Ningrum maupun Dewi Pangreyep semakin besar. Ketika mendekati kelahiran, Dewi Pangreyep mengatur siasat. Jika Dewi Ningrum dan putranya yang hendak lahir tidak disingkirkan. Maka putra Dewi Pangreyep tak akan punya kesempatan menjadi raja. Sebab Dewi Pangreyep hanyalah seorang selir belaka. Bagaimanapun yang menjadi pewaris tahta adalah putra permaisuri.

Suatu hari, Permaisuri Nyimas Dewi Pangrenyep melahirkan terlebih dahulu. Ia melahirkan seorang Bayi Laki-laki yang sangat lucu dan tampan. Pangeran tersebut di beri nama Hariangbanga. Tidak lama kemudian Permaisuri Dewi Naganingrum pun akan segera melahirkan. Dewi Pangrenyep bergegas untuk membantunya. Akhirnya, Dewi Naganingrum melahirkan seorang Bayi Laki-laki yang tidak kalah lucu dan tampan dari kakaknya Hariangbanga.
Di balik kesediaannya menolong persalinan Dewi Naganingrum. Ternyata Dewi Pangrenyep tidak menyukain Dewi Naganingrum menjadi pesaingnya. Karena ia ingin menguasai Kerajaan dan menjadikan Putranya sebagai Raja kelak. Ia pun merencanakan niat jahatnya yang sudah ia susun agar sesuai dengan harapannya.

Tanpa sepengetahuan siapapun. Bayi Laki-laki yang baru saja di lahirkan Dewi Naganingrum di tukar dengan seekor anak Anjing. Bayi yang sebenarnya di masukkan ke dalam sebuah keranjang. Dewi Pangrenyep pun meletakkan sebutir telur ayam. Ia pun segera menghayutkan bayi tersebut ke sebuah sungai.

Di Kerajaan terjadi sebuah kehebohan. Kabar yang sangat mengejutkan menggemparkan seluruh isi Istana dan rakyat. Mengetahui kenyataan ini menghancurkan harga dirinya sebagai Raja. Bagaimana tidak, Permaisuri yang selama ini ia cintai sudah melahirkan seekor anak Anjing.

Dalam keadaan marah. Akhirnya, Raja segera memanggil Penasehat Raja yang bernama Ki Lengser. Namun, memanggil Ki Lengser bukan untuk meminta sebuah nasihat. Tapi, memerintahkan Ki Lengser untuk segera membunuh Dewi Naganingrum dan mayatnya di buang jauh-jauh. Raja memerintahkan Ki Lengser segera melakukan tugasnya.

Dalam perjalanan, Ki Lengser berpikir untuk menyelamatkan Dewi Naganingrum tanpa sepengetahuan siapapun. Ki Lengser yakin kejadian yang menimpa Dewi Naganingrum adalah suatu kebohongan. Namun, ia tidak mempunyai bukti untuk membantu Dewi Naganingrum. Ki Lengser membawa Dewi Naganingrung masuk kedalam hutan belantara.

Ki Lengser membuatkan sebuah gubug untuk tempat tinggal Dewi Naganingrum. Setelah gubug itu selesai di buatnya, dengan terpaksa Ki Lengser meninggalkan Naganingrum seorang diri. Sebelum ia pergi, ia pun berjanji akan mengunjunginya.

Sementara, Naganingrum sangat berharap suatu hari nanti ia dapat bertemu dengan Putra kandungnya. Ia pun berharap dapat kembali ke Istana dan hidup bahagia bersama keluarganya. Ki Lengser pun segera kembali ke istana. Ia langsung mengahadap Raja dan melaporkan bahwa tugasnya untuk membunuh Dewi Naganingrum sudah di laksanakan dengan baik. Untuk membuktikan bahwa ia sudah melaksanakan tugasnya, ia membasahi senjatanya dengan darah binatang buruan yang ia temui di dalam hutan. Ketika kembali ke istana, ki lengser berbohong dan mengatakan bahwa Dewi Ningrum telah dibunuhnya.

Sementara di suatu tempat. Hiduplah sepasang suami istri yang sudah sangat tua. Namun, mereka tidak memiliki anak. Suatu hari, mereka berdua pergi ke sebuah sungai untuk menangkap Ikan. Namun, mereka di kejutkan dengan sebuah keranjang besar berisi seorang bayi Laki-laki yang sangat lucu dan tampan. Mereka sangat bahagia dan mereka berpikir bahwa inilah sebuah jawaban dari doanya.

Sepasang suami istri sangat bersyukur. Satu butir Telur Ayam yang berada di samping Bayi Laki-laki tersebut. Di simpannya telur Ayam tersebut kepada seekor Naga yang bernama Nagawiru yang berada di Gunung Padang. Naga tersebut bukanlah Naga sembarangan. Namun, jelmaan seorang Dewa dan sudah menjadi tugasnya untuk mengerami satu butir Telur Ayam tersebut. Suatu saat nanti. Telur tersebut akan menetaskan seekor Ayam Jantan dan menjadi binatang kesayangan dari anak bayi yang di temukan sepasang suami istri tersebut.

Hari demi hari terlewati hingga yang dahulu hanya bayi kecil yang mungil, kini telah menjadi anak yang gagah nan tampan sekali. Namun sampai sebesar itu, Balangtaran belum memberi nama anaknya. Suatu ketika si bocah tersebut melihat seekor burung berwarna hitan yang berbunyi tiung….tiung…kemudian di dekatnya terdapat seekor monyet bergelantung. Si bocah bertanya kepada Balangtaran.

“Burung apakah yang suaranya merdu itu, ayah?”
“Itu namanya Burung Ciung.”
“Di dekatnya itu ada binatang bergelantungan. Apakah namanya?”
“Itu Wanara,” jawab ayahnya.
“Aku ingin seperti mereka!”
“Seperti Ciung dan Wanara?”

“Ya, Ciung Wanara. Rasa-rasanya nama itu cocok buatmu. Bagaimana jika aku memakai nama Ciung Wanara. Bukankah sampai sebesar ini aku belum punya nama?”
Ayahnya tertawa. Ia merasa senang dan setuju atas usul anaknya. Akhirnya si bocah itu diberi nama Ciung Wanara. Ciung wanara suka sekali  bermain-main ke dalam hutan sendirian. Suatu hari ia menemukan sebutir telur. Lalu dibawanya pulang. Namun ketika tidur malam, ia bermimpi bertemu dengan ular belang yang mengaku bernama Kiai Poleng. Ular itu mengharapkan agar Ciung Wanara menemuinya di bukit Pandan dengan membawa telur temuannya. Pagi harinya Ciung Wanara pergi ke Bukit Pandan. Ia bertemu dengan seekor ular belang yang tubuhnya sebesar pohon kelapa. Anehnya, ular itu bisa bicara seperti manusia. Ciung Wanara berkenalan dengan ular belang yang mengaku  bernama Kiai Poleng. Ular itu persis seperti yang dijumpai dalam mimpinya.

Dari cerita Kiai Poleng, Ciung Wanara akhirnya mengetahui bahwa sebenarnya ia adalah Putra Prabu Siliwangi dan pewaris tunggal tahta kerajaan Galuh Pakuwon. Kiai Poleng pun menceritakan bahwa Ciung Wanara adalah anak dari seorang permasuri bernama Dewi Ningrum yang kini bertapa di hutan Larangan. Akhirnya, Kiai Poleng meminta telur yang dibawa oleh Ciung Wanara untuk dieraminya. Setelah hampir sebulan, Ciung Wanara diminta untuk datang lagi ke Bukit Pandan.
Ketika Ciung Wanara datang lagi, telur itu menetas menjadi anak ayam yang sehat dan lucu. Ciung Wanara kemudian memeliharanya. Ternyata anak ayam tersebut diketahui sebagai si jantan. Bahkan akhirnya menjadi ayam aduan yang tak terkalahkan oleh musuh-musuhnya. Sementara itu Putra Dewi Pangreyep yang bernama Hariangbanga telah diangkat menjadi raja menggantikan sang Prabu. Hariangbanga bergelar Prabu Siliwangi II. Ia mempunyai kegemaran menyabung ayam. Suatu ketika ia mendengar bahwa di negeri itu terdapat seekor ayam jantan yang tangguh. Ia penasaran. Maka Prabu Siliwangi II menyuruh sang Patih untuk mencari siapakah pemilik ayam tersebut. Ciung Wanaran diajak oleh Patih ke istana dengan membawa serta ayam kesayangannya. Raja Siliwangi II tertarik untuk mengadu ayamnya dengan ayam milik Ciung Wanara.
“Jika ayamku kalah, aku akan mempertaruhkan separuh wilayah kerajaan Galuh kepadamu. Lalu, apa taruhanmu jika ayammu kalah?” Tanya Raja Siliwangi II.
“Saya tidak mempunyai modal untuk dipertaruhkan,” jawab Ciung Wanara. “Nyawamu bisa kau jadikan modal.” “Apa maksud paduka?” “Jika ayammu kalah, lehermu harus dipenggal. Bagaimana ?” “Baiklah,” jawab Ciung Wanara mantap.
Dua ekor ayam yang sama-sama tangguh pun diadu. Ternyata ayam istana dapat dikalahkan oleh ayam Ciung Wanara. Raja Siliwangi menyesal mengapa mempertaruhkan separuh kerajaannya. Namun titah raja pantang dicabut kembali. Akhirnya Kerajaan Galuh Pakuwon dibagi menjadi dua, yaitu Galuh Barat dan Galuh Timur. Galuh Barat diberikan kepada Ciung Wanara.

Akhirnya, semua rahasia tentang Ciung Wanara terungkap dan segala kejahatan yang dilakukan Dewi Pangrenyep terbongkar dengan sendirinya. Ki Lengser pun menceritakan bahwa Ibu kandungnya masih hidup dan di asingkan di sebuah hutan. Ciung Wanara sangat bahagia dan segera menjemput ibunya, ia pun menjemput kedua orang tua angkatnya.
Sementara itu Dewi Pangrenyep mulai hatinya ketar ketir setelah tahu kalau Ciung Wanara adalah anak bayi yang dibuangnya  dulu. Hingga akhirnya kegelisahan dan ke khawatirannya itu pun segera terjawab dan terwujud. Prabu Ciung Wanara setelah tahu apa yang telah dilakukan oleh Dewi Pangrenyep terhadap ibunda dan dirinya sendiri, maka segera membentuk pasukan khusus untuk menangkap Dewi Pangrenyep. Tanpa menemui kesulitan yang berarti Dewi pangrenyep segera tertangkap dan di jebloskan kedalam penjara istana untuk membayar segala  kejahatan dan kekejiannya.
Sementara Raden Hariangbanga sangat kaget ketika mengetahui kalau ibundanya tercinta telah ditangkap oleh tentara prabu Ciung Wanara dan dijebloskan ke dalam penjara. Pertarungan antara dua orang adik kakak beda ibu itupun tak dapat terelakan lagi. Pertarungan sengit terus terjadi dan raden Hariangbanga harus berlaku satria dia kalah terdesak oleh adiknya Ciung Wanara.
Setelah pertarungan itu kerajaan Galuh benar benar terbagi menjadi dua. Kerajaan Galuh terbagi dua karena dalam pertarungan tubuh Hariangbanga di lempar oleh Ciung Wanara hingga menyebrangi sungai Cipamali. Dari sejak itulah Kerajaan Galuh terbagi dua.
Akhirnya, Ciung Wanara, Ibunya, dan orang tua angkatnya hidup berbahagia di dalam istananya yang kemudian bernama Pakuan Pajajaran.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Artikel lain