BUKTI
DAN DALıL berkaitan dengan pertanyaan ini sangat banyak
hingga tidak dapat dihitung
dan hanya Allah yang tahu jumlahnya. Hal yang dapat dirasakan oleh indra dan
realitas merupakan bukti yang paling
kuat tentang hal ini. Ruh orang-orang yang masih hidup dengan ruh orang-orang
yang sudah meninggal bisa saling bertemu seperti halnya ruh orang-orang yang masih hidup.
Allah berfirman, “Allah memegang
nyawa (seseorang) pada soaf kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika tidur;
maka Dia tahan nyau›a
(orang) yang telah
Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai
waktu yang ditentukan. Sungguh pada yang demikian ifo terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah hogi kaum yang berpikir.”
(QS. Az-Zumar: 42J
Abu Abdillah bin Mandah berkata,
“Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abbas, berkaitan dengan ayat ini ia berkata: ’Telah sampai kabar kepadaku
bahwa ruh orang-orang yang masih hidup dan ruh orang-orang yang sudah meninggal bertemu
di dalam mimpi lalu ruh-ruh
itu saling bertanya. Selanjutnya, Allah menahan ruh orang-orang yang
sudah meninggal dan mengirim kembali ruh orang-orang yang masih hidup ke
jasadnya’.”
Ibnu Abu Hatim berkata dalam tafsirnya, Abdullah bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami, dari as-Suddi, tentang firman Allah : “Dan rıyotra (seseorang) yang belum mati ketika ia tidur,” ia berkata, “Allah mematikan ruh orang yang belum mati itu di dalam tidurnya maka ruh orang yang hidup dan ruh orang yang mati keduanya saling mengingat dan mengenal.”
Ibnu Abu Hatim melanjutkan, “Maka, ruh orang yang hidup kembali ke jasadnya di dunia hingga batas waktu yang ditentukan dan ruh orang yang sudah meninggal ingin kembali ke jasadnya, tetapi ditahan.”
Ada dua pendapat tentang makna ayat ini. Menurut pendapat yang pertama bahwa penahanan ruh itu dilakukan atas orang yang mati, sedangkan pengiriman kembali ruh ke jasad dilakukan atas orang yang dimatikan dalam tidur. Makna pendapat ini bahwa ruh orang yang mati itu dimatikan dalam kematian lalu ditahan dan tidak dikirim lagi ke jasad hingga datangnya hari Kiamat. Adapun ruh orang yang tidur hanya dimatikan sementara lalu dikirim lagi ke jasadnya hingga waktu ajalnya tiba dan ia akan mengalami kematian yang sebenarnya.
Menurut
pendapat kedua bahwa penahanan dan pengiriman
ruh yang tersebut di dalam ayat, keduanya bermakna dimatikan dalam kematian
tidur. Bagi yang sudah sampai ajalnya, ruhnya
ditahan di sisi Allah dan tidak dikembalikan lagi ke jasadnya. Adapun bagi yang belum sampai ajalnya, ruhnya dikembalikan lagi ke jasadnya hingga tiba ajalnya.
Syekhul Islam Ibnu
Taimiyyah memilih pendapat ini, ia berkata, “Pendapat ini diperkuat oleh dalil
al-Qur’an dan as-Sunnah.” la juga mengatakan, “Allah menyebutkan bahwa penahanan nyawa yang telah Dia tetapkan
kematiannya adalah yang Dia matikan
dalam kematian tidur. Adapun yang
dimatikan dalam kematian sebenarnya, ini tidak dijelaskan dengan adanya penahanan atau
pengiriman ruh ke jasadnya, tetapi
ada bentuk yang ketiganya.”
Pendapat yang kuat adalah
pendapat pertama karena
Allah telah mengabarkan adanya
dua kematian: kematian besar, yaitu kematian yang sebenarnya dan kematian kecil, yaitu tidur. Allah juga membagi
ruh menjadi dua macam: ruh yang
telah Dia tetapkan kematiannya
sehingga Dia menahan di sisi-Nya dan ruh yang belum tiba ajalnya lalu Dia mengembalikan pada jasadnya hingga sampai tiba batas waktu (ajal)nya.
Allah
menjadikan penahanan dan pengiriman ruh sebagai dua hukum dalam
dua kematian yang telah disebutkan.
Karena itu, ruh yang sudah
ditetapkan kematiannya ditahan dan ruh yang belum ditetapkan kematiannya dilepaskan untuk kembali ke
jasadnya.
Allah menjelaskan bahwa ruh yang belum meninggal adalah ruh yang Dia matikan ketika seseorang dalam keadaan tidur. Sekiranya Dia telah membagi kematian tidur menjadi dua macam: mati dalam kematian dan mati dalam tidur, Dia tidak akan berfirman, “dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika ia tidur.” Artinya, semenjak ruh digenggam (di sisi-Nya), berarti ia meninggal, sedangkan Allah mengabarkan bahwa ruh itu belum mati. Jadi, bagaimana mungkin Allah juga berfirman setelah itu, “maka Diz tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya.”
Bagi yang sependapat dengan pendapat ini dapat mengatakan bahwa firman Allah “maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya,” yakni, setelah Allah mematikannya dalam kematian tidur. Yang pertama, Allah mematikannya pada saat tidur kemudian menetapkan kematiannya setelah itu. Jadi, ayat ini mengandung dua macam kematian. Allah menyebutkan dua kematian: kematian pada saat tidur dan kematian yang sebenarnya. Allah juga menyebutkan adanya penahanan ruh orang yang sudah meninggal berada di sisi-Nya dan pengiriman kembali ruh orang yang belum meninggal ke jasadnya. Sudah diketahui bahwa Allah menahan setiap ruh yang mati, baik yang mati pada saat tidur maupun mati pada saat terjaga. Namun, Dia mengirim kembali ruh orang yang belum mati
ke jasadnya. Firman-Nya: “Maka Diz tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya” bisa berarti mati saat terjaga atau mati
pada saat tidur.
Pertemuan antara ruh orang-orang yang masih hidup dengan
ruh orang-orang yang sudah meninggal menunjukkan bahwa orang yang masih hidup bisa melihat orang
yang sudah meninggal dalam mimpi. Dengan begitu, orang yang hidup
bisa bertanya tentang kabar dari orang yang sudah meninggal dan orang yang sudah
meninggal bisa memberi
kabar tentang sesuatu
yang tidak diketahui
orang yang masih hidup.
Maka, kabarnya pun bisa sesuai,
seperti yang dikabarkan tentang perkara pada masa lampau dan perkara
yang akan datang. Terkadang, orang
yang meninggal mengabarkan
harta yang pernah dipendam di tempat tertentu, yang tidak diketahui oleh siapa pun selain dirinya, atau mengabarkan tentang utang yang belum dilunasinya lalu ia menyebutkan bukti dan alasannya.
Lebih dari itu, bahwa ruh orang yang sudah meninggal dunia bisa mengabarkan amalan
yang pernah dilakukan, tetapi tidak ada seorang
pun di dunia yang menge- tahuinya.
Yang lebih menakjubkan bahwa ruh orang yang sudah meninggal bisa mengabarkan kepada orang yang hidup: ‘Engkau akan
datang kepada kami pada waktu ini dan itu,’ dan memang
terjadi seperti yang dikabarkan. Terkadang, orang yang meninggal
mengabarkan tentang perkara-perkara yang memberikan kepastian kepada orang yang masih
hidup karena tidak
ada seorang pun yang mengetahuinya.
Telah kami sampaikan kisah Sha'b bin Jatstsamah dan perkataannya
kepada Auf bin Malik.
Begitu pula kisah Tsabit
bin Qais bin Syammas yang mengabarkan
kepada orang yang mimpi
bertemu dengannya, berkenaan dengan baju besi miliknya dan utangnya yang belum
dibayar.
Begitu pula kisah Shadaqah
bin Sulaiman al-Ja’fari dan pengabaran dari ayahnya tentang apa yang
dilakukan sepeninggalnya. Demikian
juga kisah Syabib bin Syaibah dan perkataan ibunya kepadanya
setelah meninggal: “jazâkallah khairan (semoga Allah membalas kebaikan kepadamu)”.
Pasalnya, ia telah menalkin (menuntun) ibunya
dengan kalimat fbi Ilâha illallâh
(tiada Tuhan yang berhak
disembah selain Allah) ketika sakratulmaut.
Selain itu, juga kisah Fadhl bin Muwaffaq dengan ayahnya dan pengabaran kepadanya tentang ilmu dan ziarahnya.
Said bin Musayyab9 berkata, Abdullah bin Salam'° bertemu dengan Salman al-Farisi", salah satu dari keduanya berkata, “Jika kamu meninggal lebih dulu dari aku, temui aku dan kabarkan kepadaku apa yang kamu jumpai dari sisi Tuhanmu. Namun, jika aku yang meninggal lebih dulu, aku akan menemuimu dan mengabarkan kepadamu.” Maka yang satunya berkata, “Apakah orang-orang yang sudah meninggal dapat bertemu dengan orang-orang yang masih hidup?” Yang satunya menjawab, “Ya, ruh-ruh mereka ada di dalam surga dan bisa pergi ke mana saja yang ia suka.” Yang satunya berkata, “Fulan meninggal dunia dan temannya menemuinya dalam mimpi. Fulan berkata kepadanya: ‘Bertawakallah dan berilah kabar gembira!’ Maka aku tidak melihat tawakal seperti itu untuk selamanya.”
Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Aku
ingin mimpi bertemu Umar. Terakhir kali aku bertemu dengannya sekitar setahun yang lalu. Aku pun mimpi bertemu dengannya, ia sedang
mengusap keringat yang ada di dahinya seraya berkata, “Inilah waktuku yang
kosong, hampir saja singgasanaku berguncang, sekiranya aku tidak bertemu dengan Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih
kepada manusia.”
Ketika
Syuraih bin Abid ats-Tsumali sakratulmaut, Ghudhaif bin Harits
masuk ke dalam rumah
Syuraih yang sedang
merelakan kepergian ruhnya.
Maka Ghudhaif berkata, “Wahai
Abul Hajjaj, jika engkau bisa menemui kami setelah meninggal dunia lalu
mengabarkan kepada kami apa yang engkau lihat, lakukanlah!” la berkata,
“Kalimat ini diterima menurut ahli fikih.”
Waktu pun berlalu sejak meninggalnya
Syuraih, tetapi Ghudhaif belum juga
mimpi bertemu dengannya. Akhirnya, Ghudhaif pun mimpi bertemu dengannya. Dalam mimpi itu, ia
bertanya kepada Syuraih, “Bukankah engkau telah meninggal?” Syuraih menjawab, “Ya, benar.” Ghudhaif bertanya,
“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Syuraih
menjawab, “Tuhan kami telah
mengampuni dosa-dosa kami dan tidak
ada seorang pun dari kami yang mendapat siksa, kecuali al-alyrâdh.” Ghudhaif
bertanya, “Siapakah yang dimaksud
dengan al-alı_râdh itu?” Syuraih menjawab, “Orang-orang yang ditunjuk dengan jari-jari karena suatu (keburukan).”'2
Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz berkata,
“Aku mimpi bertemu ayahku setelah ia meninggal
dunia, seakan-akan ayahku sedang berada
di sebuah kebun.
Lalu ia memberiku beberapa buah apel. Pemberian itu aku maknai sebagai
pemberian orang tua kepada
anaknya. Aku bertanya:
‘Amal apakah yang paling utama
menurut apa yang engkau lihat?’ la menjawab: ‘Istighfar, wahai anakku’.”
Maslamah bin Abdul Malik mimpi bertemu
dengan Umar bin Abdul Aziz setelah ia meninggal dunia. la bertanya, “Wahai
Amirul Mukminin, aku selalu bertanya tentang keadaanmu
setelah kematianmu.” Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Wahai Maslamah, inilah waktu yang senggang bagiku.
Demi Allah, tidak ada waktu istirahat
bagiku, kecuali sekarang.” Maslamah pun berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, di manakah engkau sekarang?” Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Aku bersama para imam (pemimpin) yang mendapatkan petunjuk
di dalam Surga
‘Adn.”
Shalih al-Barrad berkata, “Aku mimpi
bertemu Zurarah bin Aufa setelah ia meninggal dunia.
Aku bertanya: ‘Semoga Allah
merahmatimu, apa yang ditanyakan kepadamu dan
apa jawabanmu?’ Zurarah berpaling dariku lalu aku pun bertanya lagi: ‘Apa yang diperbuat Allah terhadap
dirimu?’ la menjawab: ‘Aku dimuliakan Allah karena kemurahan dan kemuliaan-Nya.’ Aku bertanya: ‘Bagaimana dengan Abul Ala’ bin Yazid, saudara
Mutharrif?’ la menjawab: ‘la berada
di derajat yang
tinggi.’ Aku bertanya: ‘Amal
apa yang paling utama di sisi kalian?’
la menjawab: ‘Tawakal dan tidak panjang angan-angan’.”
Malik
bin Dinar berkata,
“Aku melihat Muslim
bin Yasar setelah
ia meninggal. Lalu aku mengucapkan
salam kepadanya, tetapi ia tidak membalas
salamku. Maka aku berkata:
‘Apa yang menghalangimu untuk menjawab salamku?’ la menjawab: ‘Aku
sudah meninggal, bagaimana aku bisa menjawab salammu?’ Maka aku berkata
kepadanya: ‘Apa yang engkau jumpai
setelah kematian?’ la menjawab: ‘Demi
Allah, aku menjumpai keadaan seperti gempa
dan goncangan yang besar dan dahsyat.’ Malik
berkata: ‘Lalu ada apa setelah
itu?’ la menjawab:
‘Mimpi yang engkau
alami itu terjadi karena Allah Yang Maha Pemurah. Dia menerima
kebaikan-kebaikan kami, mengampuni kesalahan-kesalahan kami, dan menjamin kami kesudahannya’.” Lantas Malik pun
berteriak keras hingga pingsan. Beberapa hari ia mengalami sakit,
hatinya sakit, dan akhirnya meninggal dunia.
Suhail saudara Hazm berkata, “Aku bermimpi bertemu
Malik
bin Dinar setelah kematiannya. Dalam mimpi itu aku berkata
kepadanya: ‘Wahai Abu Yahya, aku
selalu bertanya, apa yang engkau bawa menghadap kepada Allah?’ la menjawab: ‘Aku datang dengan membawa dosa yang banyak lalu Allah menghapus dosa-dosa itu karena busnuzhzhan (baik
sangka) kepada-Nya.”
Ketika Raja’ bin Haywah meninggal, ada
seorang wanita ahli ibadah yang bermimpi bertemu dengannya lalu wanita ahli
ibadah itu berkata, “Wahai Abu Miqdam, ke mana engkau akan pergi?” la menjawab,
“Kepada kebaikan, tetapi kami dikejutkan dengan sesuatu setelah kalian, yang
kami kira hari Kiamat telah datang.” Wanita itu berkata, “Dengan apa engkau
dikejutkan?” la menjawab,
“Al- Jarrah'3 dan teman-temannya masuk ke surga dengan membawa beban
mereka yang banyak hingga mereka memenuhi pintu surga.”
Jamil
bin Murrah berkata,
“Muwarriq al-Ijli sudah aku
anggap saudaraku dan juga sahabat dekat. Pada suatu
hari aku berkata
kepadanya: ‘Siapa di antara kita yang meninggal dunia lebih dahulu maka hendaknya ia mendatangi saudaranya dan mengabarkan kepadanya tentang
apa yang dialaminya.’ Ternyata Muwarriq meninggal dunia lebih dahulu. Istriku mimpi bertemu dengannya,
seakan-akan ia datang mengetuk pintu
seperti halnya dulu ia mengetuk
pintu sewaktu masih hidup.
Istriku berkata bahwa ia berdiri dan membukakan pintu untuknya seraya berkata:
‘Masuklah, wahai Abu Mu'tamir ke pintu saudaramu!’ la menjawab: ‘Bagaimana aku masuk sementara aku sudah meninggal dunia. Aku datang kemari untuk
memberitahukan kebaikan yang
telah Allah berikan kepadaku.
Beritahukanlah kepadanya bahwa ia yang telah membuatku bertempat bersama
al-muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah)’.”
Ketika Muhammad bin Sirin meninggal dunia, sebagian sahabatnya merasa sangat sedih. Ada dari sahabatnya yang mimpi bertemu dengannya dan melihatnya dalam keadaan yang baik. Sahabatnya itu berkata, “Wahai saudaraku, aku telah melihatmu dalam keadaan yang membuatku senang lalu apa yang terjadi dengan Hasan?” Muhammad bin Sirin menjawab, “la diangkat tujuh puluh derajat di atasku.” Sahabatnya bertanya, “Mengapa bisa seperti itu, padahal aku melihat engkau lebih utama darinya?” Muhammad bin Sirin menjawab, “Hal itu karena kesedihan yang terus menerus menimpanya.”
Ibnu Uyainah berkata, “Aku mimpi bertemu Sufyan ats-Tsauri di dalam tidurku. Aku berkata kepadanya: ’Berilah aku nasihat!’ la menjawab: ‘Berusahalah
agar hanya sedikit orang-orang yang mengenalmu’!”
Ammar bin Saif berkata, “Aku mimpi
bertemu dengan Hasan bin Shalih di dalam tidurku lalu aku bertanya kepadanya: ‘Sudah
lama aku berharap dapat ber- temu denganmu. Apa yang terjadi dengan dirimu,
kabarkanlah kepada kami?’Ia menjawab: ‘Bergembiralah karena aku tidak melihat ada balasan yang
lebih baik daripada berbaik sangka kepada Allah’.”
Setelah Dhaigham meninggal
dunia—ia dijuluki dengan al-'âbid (ahli ibadah), di antara temannya ada yang mimpi bertemu dengannya. Dalam mimpi itu, Dhaigham
bertanya, “Apakah engkau
mendoakan aku?” Temannya
itu menyebutkan alasan
ia mendoakannya. Selanjutnya, Dhaigham
berkata, “Sekiranya engkau
mendoakanku, engkau akan mendapatkan keuntungan besar.”
Setelah Rabi'ah meninggal dunia, seorang temannya mimpi bertemu
dengannya dan dilihatnya ia sedang mengenakan pakaian sutra halus dan sutra tebal. Padahal, ketika mati ia
dikafani dengan kain jubah dan kain kerudung dari wol. Temannya itu bertanya, “Apa yang terjadi
dengan kain jubah dan kain kerudung wol yang dulu digunakan sebagai kain
kafanmu?”
Rabi'ah menjawab, “Demi Allah, kain kafan itu dilepaskan dari jasadku lalu diganti
dengan kain sutra
yang engkau lihat padaku ini. Kain kafanku
itu dilipat dan diberi tanda lalu dibawa ke
illiyyin agar pahalanya menjadi sempurna bagiku pada hari Kiamat nanti.”
Temannya bertanya, “Untuk
itukah engkau beramal
selama hari-harimu di dunia?”
Rabi'ah menjawab, “Hal ini karena aku melihat kemuliaan Allah yang
diberikan kepada para kekasih (wali)-Nya.”
Temannya bertanya, “Apa yang terjadi dengan Abdah binti Kilab?”
Rabi'ah menjawab, “Jauh sekali, jauh sekali. Demi Allah, ia mengalahkan kami karena mendapatkan derajat yang tinggi.”
Temannya bertanya,
“Mengapa begitu, padahal dalam pandangan manusia, engkau lebih banyak beribadah
daripadanya?”
Rabi'ah menjawab,
“Karena ia tidak peduli seperti apa keadaannya sewaktu di dunia ketika memasuki waktu pagi atau pun sore.”
Temannya bertanya,
“Apa yang terjadi dengan Abu Malik?”
Maksudkannya adalah Dhaigham.
Rabi'ah menjawab, “Allah selalu mengunjunginya kapan pun dikehendaki-Nya.” Temannya bertanya, “Apa yang terjadi dengan Bisyr
bin Mansyur?”
Rabi'ah
menjawab, “Sungguh bagus, sungguh
bagus. Demi Allah, ia telah diberi balasan lebih baik dari yang
diharapkannya.”
Temannya berkata, “Perintahkan
kepadaku untuk mengerjakan suatu amal sehingga aku dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan amal itu!”
Rabi'ah menjawab, “Hendaklah engkau
memperbanyak zikir kepada Allah karena yang demikian
itu lebih cepat mendatangkan kebahagiaan di dalam
kuburmu kelak.”
Setelah Abdul Aziz bin Sulaiman
meninggal dunia —ia dijuluki dengan al-
‘âbid (ahli ibadah), di antara temannya ada yang bermimpi bertemu dengannya
tengah mengenakan pakaian warna hijau dan di atas kepalanya ada mahkota dari
mutiara. Temannya itu bertanya, “Bagaimana keadaanmu setelah meninggalkan kami?
Bagaimana engkau merasakan kematian? Bagaimana menurutmu tentang perkara di
sana?” la menjawab, “Tentang kematian janganlah engkau tanyakan tentang berat,
susah, dan kesedihannya. Hanya saja, rahmat Allah melingkupi kami dari aib dan kami tidak mendapatkan sesuatu pun, kecuali berkat karunia-Nya.”
Shalih bin Basyir
berkata, “Ketika Atha’ as-Salimi meninggal, aku mimpi bertemu dengannya.
Aku berkata kepadanya: ‘Wahai Abu Muhammad, bukankah engkau sudah meninggal
dunia?’
la menjawab:
‘Ya.’
Aku kembali tanya: ‘Apa yang engkau tuju setelah kematian?’
la menjawab: ‘Demi
Allah, aku menuju pada kebaikan yang banyak dan Tuhanku Yang Maha Pengampun
dan Maha Mensyukuri.’
Aku berkata: ‘Demi Allah, engkau telah merasakan
kesusahan yang panjang sewaktu di dunia.’
Maka ia pun
tersenyum seraya berkata: ‘Demi Allah,
keadaan itu telah meng- antarkan aku pada istirahat panjang
dan kesenangan yang tiada henti.’
Aku kembali bertanya:
‘Di mana kedudukanmu?’
la menjawab: ‘Bersama
dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah,
(yaitu) para
nabi, para pecinta
kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya’.”
Ketika Ashim al-Jahdari meninggal dunia,
sebagian anggota keluarganya melihatnya dalam mimpi. Anggota keluarganya yang mimpi itu bertanya, “Bukankah engkau sudah meninggal dunia lebih dulu?”
la menjawab, “Ya, benar.”
Anggota keluarganya itu bertanya, “Di mana engkau berada?”
la menjawab, “Demi
Allah, aku berada
di salah satu taman surga.
Aku bersama dengan sekelompok temanku. Kami berkumpul pada setiap
malam Jumat dan pagi harinya lalu kami sama-sama
menghadap Bakar bin Abdullah al-Muzani untuk mencari kabar tentang kalian.”
Anggota keluarganya itu bertanya lagi, “Apakah itu jasad kalian ataukah ruh kalian?”
la menjawab, “Sangat tidak mungkin
jasad kami. Jasad kami telah hancur.
Hanya ruh-ruh yang saling bertemu.”
Diperlihatkan kepadaku dalam mimpi,
Fudhail bin lyadh setelah kematiannya, ia berkata, “Aku tidak
melihat kebahagiaan hamba (kecuali) dari Rahh-nya.”
Murrah al-Hamdani banyak bersujud
(shalat) hingga keningnya terlihat hitam bekas dari sujudnya. Setelah ia
meninggal, ada seseorang dari keluarganya
yang mimpi bertemu dengannya dan bekas sujudnya
itu seperti bintang kejora. Keluarganya itu bertanya, “Bekas
apakah yang menempel
di keningmu itu?” la
menjawab, “Bekas sujud karena warna hitam bekas sujud
itu menjadi cahaya.” Keluarganya itu bertanya, “Di mana kedudukanmu di akhirat?” la menjawab,
“Kedudukan yang terbaik,
yaitu tempat yang para penghuninya tidak berpindah dan
juga tidak mati.”
Abu Ya'qub al-Qari berkata, “Ketika tidur, aku mimpi bertemu dengan seorang laki-laki yang berkulit sawo matang,
berperawakan tinggi, dan banyak orang yang mengikutinya. Maka aku bertanya: ‘Siapa orang itu?’ Orang-orang
menjawab: ‘la adalah Uwais al-Qami.’ Aku pun turut mengikutinya.
Lalu aku berkata kepadanya: ‘Berilah aku nasihat, semoga Allah
merahmatimu.’ Namun, ia menampakkan wajah yang kurang senang kepadaku. Aku berkata lagi: ‘Aku adalah
orang yang mengharapkan petunjuk maka berilah aku petunjuk, semoga
Allah merahmatimu.’ Akhirnya, ia memandangku
dan berkata: ‘Carilah rahmat Allah
dengan mencintai- Nya, waspadailah kemurkaan Allah
ketika bermaksiat kepada-Nya,
dan janganlah engkau memupuskan harapanmu kepada-Nya di antara dua keadaan
itu.’ Setelah itu, ia berpaling dan pergi meninggalkanku.”
Ibnu Sammak berkata,
“Aku bermimpi bertemu
Mis'ar di dalam tidur. Aku bertanya kepadanya: ‘Amalan apa yang paling utama menurutmu?’ la menjawab: ‘Majelis zikif.”
Al-Ajlah berkata, “Aku mimpi
bertemu Salamah bin Kuhail di dalam tidur lalu aku bertanya
kepadanya: ‘Amalan apa yang paling
utama menurutmu?’ la menjawab: ‘Shalat malam.’
Abu Bakar bin Abu Maryam berkata: ‘Aku mimpi bertemu Wafa’ bin Bisyr setelah ia meninggal dunia. Maka aku bertanya kepadanya:
‘Apa yang engkau lakukan, wahai Wafa’?’ la menjawab: ‘Aku selamat setelah
berusaha dengan gigih.’ Aku bertanya: ‘Amalan apa yang engkau
dapati paling utama?’
la menjawab: ‘Menangis karena Allah’.”
Al-Laits bin Sa'd menyebutkan dari Musa bin Wardan bahwa ia mimpi bertemu Abdullah bin Abu Habibah setelah ia meninggal. la berkata, “Segala kebaikan dan keburukanku diperlihatkan kepadaku.
Aku melihat dalam kebaikanku ada yang berupa biji delima maka aku mengambilnya lalu memakannya. Aku juga
melihat dalam keburukanku ada dua helai benang sutra dalam kopiahku.”
Sunaid bin Dawud berkata, “Keponakanku, Juwairiyah bin Asma’ telah men- ceritakan kepadaku, ia berkata: ’Suatu saat, ketika kami berada di Abbadan, ada seorang pemuda dari penduduk Kufah yang tergolong ahli ibadah mendatangi kami. la pun meninggal pada siang hari yang sangat panas di tempat itu. Aku berkata: ‘Kita berteduh dulu hingga cuacanya tidak panas menyengat. Setelah itu, kita urus jenazahnya.’
Pada saat itu aku tertidur
dan aku mimpi seakan-akan berada
di sebuah area pemakaman. Di dalam makam itu ada
kubah dari mutiara yang bercahaya
dan sangat indah. Ketika
aku sedang melihatnya, kubah itu terbelah dan dari
dalamnya muncul
seorang gadis yang kecantikannya belum pernah aku lihat seperti itu. Gadis
itu menghampiriku seraya berkata: ‘Demi Allah, janganlah engkau menahan pemuda itu dari kami hingga waktu
zuhur.’
Seketika itu aku terbangun kaget dan
aku langsung mengurus jenazahnya. Aku gali
liang lahat di tempat kubah yang aku lihat
dalam mimpiku dan jasadnya dimakamkan di sana.”
Abdul
Malik bin Itab al-Laitsi berkata,
“Aku mimpi bertemu
Amir bin Qais di
dalam tidur. Aku bertanya kepadanya: ‘Amal apakah yang menurutmu paling utama?’ la menjawab: ‘Amal yang dimaksudkan untuk
mengharapkan keridhaan Allah’.”
Yazib
bin Harun berkata,
“Aku mimpi bertemu Abu Ala’ Ayub bin
Miskin di dalam tidur maka aku berkata kepadanya: ‘Apa yang diperbuat
Allah terhadapamu?’
la menjawab: ‘Allah telah mengampuni dosaku.’
Aku bertanya: ‘Dengan apa Dia mengampunimu.
’
la menjawab: ‘Dengan puasa dan
shalat.’
Aku bertanya: ‘Apakah
engkau melihat Manshur bin Zadzan?’
la menjawab: ‘Sama sekali tidak. Namun,
kami melihat istananya dari kejauhan’.”
Yazid bin Na'amah berkata, “Ada gadis yang
meninggal dunia karena wabah penyakit tanri
(penyakit menular, epidemi) yang sedang mewabah. Ayahnya
mimpi bertemu dengannya. Dalam mimpi itu, sang ayah bertanya kepadanya:
’Wahai putriku, beritahukanlah kepadaku
aku tentang akhirat.’ Gadis itu
menjawab: ‘Wahai ayahku,
aku menghadapi urusan yang besar. Aku mengetahui, tetapi tidak bisa beramal, sedangkan kalian bisa beramal,
tetapi tidak mengetahui. Demi Allah, satu atau dua kali tasbih dan satu atau
dua rakaat shalat dalam lembar amalku, lebih aku cintai daripada dunia dan
isinya’.”
Katsir bin Murrah berkata, bu bermimpi seakan-akan masuk tingkatan yang tinggi
di dalam surga lalu aku pun berkeliling di sana dan aku terkagum-kagum melihat keadaannya.
Kemudian aku bertemu dengan sekumpulan
wanita yang suka datang ke masjid, mereka
yang berada di pojok masjid.
Aku mengucapkan salam kepada mereka lalu bertanya: ’Dengan apa kalian sampai di tingkatan
ini?’ Mereka menjawab:
‘Dengan banyak sujud dan
takbir’.”
Muzahim, pembantu Umar bin Abdul Aziz, meriwayatkan dari Fatimah binti Abdul Malik, istri Umar bin Abdul Aziz, ia berkata, “Suatu malam Umar bin Abdul Aziz terbangun lalu ia berkata: ‘Aku baru saja mendapat mimpi yang sangat mengagumkan.’ Istrinya berkata: ‘Aku menjadi jaminanmu, kabarkanlah mimpi itu kepadaku.’ Umar bin Abdul Aziz berkata: ‘Aku tidak akan menceritakan kepadamu, kecuali setelah tiba waktu pagi.’
Ketika waktu subuh tiba, Umar bin Abdul Aziz bangun dan keluar untuk mengerjakan shalat lalu kembali
ke tempat duduknya. Istri Umar menuturkan: ‘Aku gunakan kesempatan itu untuk mendekatinya lalu aku berkata: ‘Beritahukanlah kepadaku tentang mimpimu
semalam’.’
Umar bin Abdul Aziz berkata:
‘Aku bermimpi seakan-akan diangkat ke tanah hijau yang luas, seperti permadani yang hijau. Di tempat
itu ada istana putih seperti terbuat dari perak. Selanjumya,
ada seseorang yang keluar dari istana itu sambil berseru dengan lantang: ‘Mana Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib? Mana Rasulullah?’
Rasulullah datang lalu masuk ke
istana itu. Kemudian ada orang lain yang keluar dari dalam istana itu lalu
berseru dengan suara lantang: ‘Mana Abu
Bakar ash-Shiddiq? Mana Abu Qahafah?’ Abu Bakar pun datang lalu masuk ke
dalam istana itu. Kemudian ada orang yang keluar dari dalam istana
dan berseru: ‘Mana Umar bin Khaththab?’
Umar bin Khaththab datang lalu
masuk ke dalam istana itu. Kemudian ada orang lain yang keluar dari dalam
istana dan berseru: ‘Mana Utsman bin Affan?’ Utsman
bin Affan pun datang lalu masuk
ke dalam istana itu. Kemudian ada
orang yang keluar dari dalam istana dan berseru: ‘Mana Ali bin Abi
Thalib?’ Maka Ali datang lalu masuk ke dalam istana itu. Kemudian ada orang
yang keluar dari dalam istana kemudian berseru: ‘Mana Umar bin Abdul Aziz?’ Lalu Umar berkata bahwa ia bangkit
hingga aku masuk ke dalam istana.
Aku mendekat ke arah Rasulullah dan orang-orang yang disebutkan tadi ada di sekeliling beliau. Aku pun bertanya-tanya di dalam hati: ‘Di sebelah mana aku harus duduk?’
Aku putuskan untuk duduk di sebelah
Umar bin Khaththab. Setelah
aku lihat, temyata Abu Bakar ada di sebelah
kanan Rasulullah. Dan di sebelah Abu Bakar ada satu orang lagi. Aku bertanya: ‘Siapakah yang ada di antara
Rasulullah dan Abu Bakar itu?’ Ada yang menjawab: ‘la adalah Isa putra Maryam.’ Tiba-tiba ada yang berbisik
kepadaku —namun di antara aku dan ia ada
pembatas berupa cahaya: ‘Wahai Umar bin Abdul Aziz, peganglah yang ada
pada dirimu selama ini dan teguhkanlah hatimu padanya.’ Setelah itu, aku melihat seakan-akan ia
mengizinkanku untuk keluar maka aku pun keluar dari istana. Aku menoleh ke belakang, temyata Utsman bin Affan juga ikut keluar
dari sana seraya berkata: ‘Segala puji
bagi Allah yang telah menolongku.’ Aku lihat
Ali bin Abi Thalib juga keluar
dari
istana seraya berkata:
‘Segala puji bagi Allah yang telah mengampuniku’.”
Said bin Abu Arubah menyebutkan
dari Umar bin Abdul Aziz, ia berkata, “Aku mimpi bertemu
dengan Rasulullah sementara Abu Bakar dan Umar keduanya duduk di sisi beliau. Aku mengucapkan salam lalu aku duduk. Ketika aku sedang duduk, datang Ali dan Muawiyah.
Keduanya dimasukkan ke dalam satu rumah
yang pintunya tetap dibuka sehingga
aku bisa melihat. Tidak berapa lama, Ali keluar dari rumah itu seraya berkata: ‘Aku telah diberi keputusan oleh itahhuf
Ka'balı.’ Kemudian Muawiyah
juga ikut keluar
dari rumah itu seraya berkata:
‘Aku telah diampuni Rabbul
Ka’hah’.”
Hammad
bin Abu Hasyim berkata, “Ada seorang laki-laki
menemui Umar bin Abdul
Aziz seraya berkata:
‘Aku mimpi bertemu Rasulullah sementara Abu Bakar
ada di sisi kanan beliau dan Umar ada di sisi kiri beliau. Lalu datang dua
orang yang saling bertengkar sementara engkau ada di hadapan dua orang itu
sambil duduk lalu dikatakan kepadamu: ‘Wahai Umar, jika engkau berbuat,
berbuatlah seperti dua orang ini.’ Maksudnya adalah Abu Bakar dan Umar.
Umar bin Abdul Aziz meminta
orang itu untuk bersumpah atas nama Allah dan bertanya: ‘Apakah engkau benar-benar mimpi seperti itu?’ Orang itu pun bersumpah dan setelah itu
Umar bin Adul Aziz menangis.”
Abdurrahman bin Ghanm berkata, “Aku mimpi bertemu
Muadz bin Jabal tiga hari setelah ia meninggal. Ia
naik di atas punggung kuda yang sangat bagus. Sementara itu, di belakangnya ada beberapa orang
berkulit putih yang mengenakan pakaian wama hijau. Mereka juga menaiki
kuda-kuda yang bagus. Mu'adz berada dibarisan paling depan dari mereka. la
membaca ayat: Alangah baiknya
sekiranya kaumku mengetahui, apa
yang menyebabkan Tuhanku memberi ampunan
kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.”’
Kemudian ia menengok ke arah kanan dan kiri seraya berkata: ‘Wahai Ibnu Rawahah, wahai Ibnu Mazh'un,
segala puJi bagi Allah yang telah memenuhi/an/i-Nya
kepada kami dan telah
memberikan tempat ini kepada kami
sedang kami (diperkenankan) menempati
surga di mana sa/a yang kami
kehendaki. Maka (surga itulah) sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.”’ Kemudian ia menyalamiku dan mengucapkan salam kepadaku.”
Qabishah bin Uqbah berkata,
“Aku mimpi bertemu
Sufyan ats-Tsauri di dalam
tidur setelah ia meninggal dunia. Aku bertanya kepadanya: ‘Apa yang
diperbuat Allah kepadamu?’ Ia menjawab: ‘A£u melihat Tuhanku dengan mata kepalaku
sendiri dan Dia berfirman kepadaku:
’Selamat datang,
Aku ridha kepadamu wahai Abu Said Engkau selalu mendirikan shalat di tengah malam dengan ungkapan kata-kata yang sedih dan
hati penuh yang kepasrahan
Maka pilihlah istana yang engkau inginkan
dan kunjungi Aku karena Aku tidak Jauh darimu’.”
Sufyan
bin Uyainah berkata,
“Aku mimpi bertemu
Sufyan ats-Tsauri setelah
ia meninggal dunia, seakan-akan ia beterbangan di surga dari satu pohon
kurma ke pohon lain
dan dari satu pohon ke pohon kurma seraya berkata: ‘Untuk
{kemenangan) serupa ini, hendaklah
beramal orang-orang yang mampu beramal."6 Ada yang bertanya
kepadanya: ‘Dengan amal apa engkau dimasukkan ke dalam
surga?’ Ia menjawab:
Surah Yâsîn ayat 26 dan 27.
'
‘Dengan bersikap sara’."7 Ada juga yang bertanya kepadanya: ‘Apa
yang terjadi dengan Ali bin Ashim?’ la menjawab: ‘Kami melihamya laksana
bintang’.”
Syu'bah
bin Al-Hajjaj dan Mis'ar bin Kidam adalah
dua orang penghafal
al- Qur'an dan dua orang yang mulia. Abu Ahmad al-Buraidi berkata, “Aku mimpi bertemu keduanya setelah keduanya meninggal dunia.
Lalu aku bertanya: ‘Wahai Abu Bustham, apa yang Allah perbuat
terhadapmu?’ Ia menjawab: ‘Semoga
Allah melimpahkan
taufik kepada dirimu karena menjaga apa yang
aku ucapkan:
’Tuhanku telah menempatkan aku di sebuah taman
yang memiliki seribu pintu yang terbuat dari perak dan mutiara.
Dia berfirman kepadaku:
’Hai Syu'bah, orang
yang hans mengumpulkan ilmu dan memperbanyaknya.
kamu mendapatkan nikmat sehingga hisa berdekatan dengan-Ku dan Aku ridha
kepadamu.
Dan kepada seorang
hamba-Ku yang selalu melaksanakan shalat malam adalah Mis'ar Aku
memberi kesempatakan kepada Mis'ar
untuk mengunJungi Aku.
Dan akan Aku buka tirai yang menutup
wajah-Ku yang Mulia agar ia dapat
memandangnya.
Inilah yang Aku lakukan kepada orang-orang yang banyak beribadah
dan tidak melakukan
kemungkaran’.”
Ahmad bin Muhammad al-Labidi berkata, “Aku mimpi bertemu Ahmad bin
Hanbal di dalam tidur lalu aku bertanya kepadanya: ‘Wahai Abu Abdillah, apa yang diperbuat Allah terhadap dirimu?’
la menjawab: ‘Dia mengampuni dosa-dosaku kemudian Allah berfirman:
‘Wahai Ahmad, engkau dipukul karena-Ku sebanyak enam puluh kali camt›ukaıı?"’ Aku menjawab:
‘Benar, wahai Tuhanku.’ Lalu Allah berfirman: ‘Jumlah waJah-Ku. Aku telah membukanya
hagimu maka pandanglah’!”
Abu Bakar Ahmad bin Muhammad
al-Hajjaj berkata, “Seorang
laki-laki penduduk Thursus (Tarsus) telah menceritakan kepadaku, ia berkata: ‘Aku berdoa kepada Allah agar dapat
mimpi bertemu orang-orang yang sudah meninggal dunia. Dengan begitu, aku bisa bertanya kepada mereka tentang Ahmad bin
Hanbal, apa yang diperbuat Allah terhadap dirinya.’
Dua puluh tahun kemudian, aku bermimpi dalam
tidurku seakan-akan para penghuni makam berdiri di atas makam mereka
masing-masing. Mereka berkata
kepadaku: ‘Wahai fulan, engkau berdoa kepada Allah agar bisa bertemu dengan kami lalu
engkau akan bertanya kepada kami tentang seseorang yang semenjak
meninggalkan kalian telah ditempatkan oleh para malaikat di bawah
sebatang pohon thuba’.”
Abu Muhammad Abdul Haq berkata, “Perkataan penghuni makam itu hanya ingin menggambarkan ketinggian derajat Ahmad bin Hanbal dan keagungan kedudukannya sehingga mereka pun tidak sanggup menggambarkan keadaannya dan apa yang sedang dialaminya. Dan seperti itulah yang dimaksudkan.”
Abu Ja'far
as-Saqa’, teman Bisyr bin Harits berkata, “Aku mimpi bertemu Bisyr
al-Hafi dan Ma'ruf al-Kurkhi, keduanya mendatangiku. Maka aku bertanya: ‘Dari mana kalian berdua?
Keduanya menjawab: ‘Dari Sungai Firdaus, kami baru saja mengunjungi Musa kalimullah (orang yang pernah diajak
bicara oleh Allah)’.” Ashim al-Jazari
bekata, “Aku bermimpi seakan-akan aku bertemu Bisyr bin
Harits. Maka aku bertanya
kepadanya: ‘Dari mana engkau, wahai Abu Nashr?’ Ia
menjawab: ‘Dari Illiyyin.’ Maka aku berkata:
‘Apa yang terjadi
dengan Ahmad bin Hanbal?’ Ia menjawab: ‘Saat ini aku meninggalkannya bersama
Abdul Wahhab al- Warraq ada di hadapan
Allah, keduanya sedang makan dan
minum.’ Aku bertanya kepadanya: ‘Bagaimana dengan dirimu?’ Ia menjawab: ‘Allah tahu aku memang kurang
suka makanan. Karena
itu, Dia memperkenankan aku untuk melihatnya saja’.”
Abu Ja'far as-Saqa
berkata, “Aku mimpi bertemu Bisyr bin Harits
setelah ia meninggal. Aku bertanya kepadanya: ‘Wahai Abu Nashr, apa yang
diperbuat Allah terhadap dirimu?’ la menjawab: ‘Allah menyayangiku dan merahmatiku. Dia juga berfirman kepadaku: Wahai Bisyr, sekiranya engkau bersujud kepada-Ku di atas bara api, engkau
belum memenuhi rasa syukur atas apa yang Aku masukkan ke dalam hati para hamba-Ku.’ Lalu Allah memperkenankan aku untuk memasuki separuh surga. Aku pun segera
masuk ke sana dari mana pun yang aku
kehendaki dan Dia berjanji
untuk mengampuni dosa orang-orang yang mengiringi jenazahku.’ Aku bertanya: ‘Bagaimana yang dilakukan Abu Nashr
at-Tammar?’ Ia menjawab: ‘la berada
di atas semua manusia karena kesabarannya menerima cobaan yang dialami dan
kemiskinannya’.”
Abdul Haq berkata,
“Mungkin saja, yang dimaksud dengan separuh surga adalah
separuh kenikmatan yang ada di dalamnya. Pasalnya, kenikmatan di dalam
surga itu terbagi dua: separuh kenikmatan ruhani dan separuh kenikmatan fisik.
Pada mulanya mereka menikmati kenikmatan ruhani. Jika ruh sudah
dikembalikan ke jasad, kenikmatan ruhani itu ditambah dengan kenikmatan fisik.”
Ada juga yang mengatakan, “Kenikmatan surga berkaitan dengan
ilmu dan amal. Bagian
Bisyr yang berasal dari amal lebih sempurna daripada bagiannya yang berasal
dari ilmu dan Allah lebih tahu.”
Ada seorang saleh yang berkata, “Aku
mimpi bertemu Abu Bakar asy-Syibli sedang duduk di sebuah majelis pada musim semi di suatu tempat yang biasa kita
duduki, ia menemuiku dengan mengenakan pakaian yang amat bagus. Kemudian aku
berdiri menyambumya dan mengucapkan salam kepadanya.
Aku pun duduk di hadapannya. Aku bertanya: ‘Siapa di antara temanmu yang
tempatnya dekat dengan tempatmu?’ la menjawab: ‘Orang yang paling banyak
berzikir kepada Allah, yang paling banyak memenuhi hak Allah, dan yang paling
cepat mencari keridhaan-Nya’.”
Abu Abdurahman as-Sahili berkata, “Aku mimpi bertemu dengan Maisarah
bin Sulaim setelah ia meninggal dunia, aku
berkata kepadanya: ‘Sudah lama engkau
tiada.’ Ia berkata: ‘Perjalanan
amat jauh.’ Aku bertanya kepadanya: ‘Lalu
bagaimana kesudahanmu.’ Ia menjawab: ‘Allah memberikan keringanan
kepadaku karena dulu aku suka memberi
fatwa yang meringankan.’ Aku bertanya
kepadanya: ‘Apa yang bisa engkau perintahkan kepadaku?’ Ia menjawab: ‘Mengikuti atsar dan berteman dengan orang-orang yang baik.
Keduanya bisa menyelamatkan dari neraka dan mendekatkan kepada Allah’.”
Abu Ja'far adh-Dharir berkata, “Aku mimpi bertemu Isa bin Zadzan setelah
ia meninggal dunia. Aku bertanya kepadanya: ‘Apa yang diperbuat Allah
terhadap dirimu?’ Maka ia menjawab:
Aku melihat bidadari-bidadari cantik
membawa nampan-nampan minuman Bernyanyi samhif berjalan dan bajunya tergerai.’
Di antara teman Ibnu Juraij ada
yang berkata, “Aku bermimpi seakan-akan mendatangi makam yang ada di Mekah. Aku melihat pada semua makam itu ada tendanya.
Dan aku melihat di atas salah satu makam itu terdapat pagar, tempat untuk
mengadakan pesta, dan pohon bidara. Aku pun datang dan memasukinya sambil
mengucapkan salam dan ternyata di dalamnya adalah Muslim bin Khalid az-Zanji.
Aku mengucapkan salam
kepadanya seraya bertanya: ‘Wahai Abu Khalid, mengapa di atas makam-makam itu
ada pagamya, tetapi di atas makammu ada pagar,
tempat untuk mengadakan pesta, dan daun bidara?’ Ia menjawab: ‘Itu karena
aku dulu banyak berpuasa.’ Lalu aku bertanya: ‘Di mana makam Ibnu Juraij?
Tunjukkan aku kepadanya! Dulu aku suka duduk-duduk dengannya dan kini aku ingin mengucapkan salam kepadanya.’ la
menjawab sambil memutar-mutar jari telunjuknya: ‘Di mana makam Ibnu Juraij?
la diangkat ke illiyyin’.”
Sebagian teman Hammad bin Salamah mimpi
bertemu dengannya. Maka teman Hammad itu bertanya kepadanya, “Apa yang
diperbuat Allah terhadap dirimu?” Hammad menjawab, “Allah berfirman kepadaku: ’Telah
lama engkau merasakan penderitaanmu sewaktu di dunia
dan kini Aku pan
jangkan keterangan dan kenikmatan mu’.”
Ini merupakan pembahasan yang sangat panjang. Jika Anda belum bisa memercayainya dan Anda mengatakan bahwa semua itu hanyalah mimpi, padahal mimpi itu bukan sesuatu yang terjamin kebenarannya, renungkanlah tentang seseorang yang mimpi bertemu temannya, kerabatnya, atau seseorang yang sudah meninggal dunia lalu orang yang sudah meninggal itu mengabarkan kepadanya tentang sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun, kecuali orang yang bermimpi itu. Atau orang yang sudah meninggal itu memberitahukan harta yang disimpannya atau disimpan orang lain ketika ia masih hidup. Atau memperingatkan sesuatu yang akan terjadi. Atau memberikan kabar gembira atas perkara yang akan ditemui lalu apa yang beritahukan itu benar-benar terjadi. Atau ia mengabarkan ihwal kematiannya atau kematian keluarganya dan terjadi seperti yang dikabarkannya. Atau ia mengabarkan sebuah tanah yang subur atau tandus, tentang musuh, musibah, atau penyakit yang terjadi padanya, dan semua terjadi seperti yang dikabarkannya. Hal demikian itu banyak terjadi, hanya Allah yang dapat menghitung jumlahnya, dan hal ini bisa terjadi pada siapa pun. Maka, berkaitan dengan hal ini menurut kami dan juga yang lainnya merupakan suatu keajaiban.
Adalah suatu kesalahan bagi yang
mengatakan bahwa itu semua merupakan gambaran ilmu dan keyakian, yang dialami
seseorang ketika terbebas dari segala bentuk kesibukan fisik dengan tidur. Itu
semua adalah batil dan mustahil terjadi. Tidak ada satu jiwa pun yang bisa mengetahui urusan-urusan
semacam ini, yang dikabarkan oleh orang yang sudah meninggal dunia. Tidak
pernah terlintas di dalam benaknya dan tidak ada tanda maupun isyarat
tentangnya meskipun kami tidak mengingkari bahwa sebagian di antaranya memang
terjadi.
Sesungguhnya, di antara mimpi itu ada yang terjadi karena pengaruh bisikan jiwa dan gambaran keyakinan. Bahkan, kebanyakan orang yang bermimpi hanyalah pengaruh hayalan jiwanya, baik sesuai maupun yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Sesungguhnya, mimpi itu ada tiga macam: (1) mimpi yang datangnya
dari setan,
(2) mimpi yang datangnya dari Allah, (3) mimpi yang datangnya dari hayalan jiwa.
Mimpi yang benar (ru'yah sh‘alihah) itu ada beberapa
macam, di antaranya sebagai berikut.
•
Ilham yang Allah sampaikan ke dalam hati
seorang hamba. Ini merupakan kalmam (perkataan) yang Alah firmankan
kepada hamba-Nya ketika
sedang tidur. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Ubadah bin
Shamit dan yang lainnya.
•
Permisalan yang disampaikan oleh malaikat penyampai mimpi kepada hamba, yang memang ditugaskan untuk itu.
•
Ruh orang yang sedang tidur bisa bertemu
dengan ruh orang yang sudah meninggal dunia, baik dari keluarga, kerabat,
maupun temannya, bahkan orang lain sebagaimana yang telah kami sampaikan
sebelumnya.
•
Naiknya ruh ke hadapan Allah lalu Allah berfirman kepadanya.
•
Masuknya ruh ke dalam surga lalu melihat
segala yang ada di sana dan sebagainya.
Bertemunya ruh orang yang masih
hidup dengan ruh orang yang sudah meninggal
dunia termasuk
jenis mimpi yang benar seperti
yang dialami banyak orang
dan termasuk perkara yang dapat dirasakan. Hal ini memang termasuk perkara
yang masih membingungkan
manusia. Ada yang mengatakan bahwa semua
ilmu itu terpendam di dalam
jiwa. Pasalnya, kemampuan ilmu hanya terkait dengan alam nyata maka ia terhalang untuk mengetahui ruh.
Jika seseorang terbebas dari segala
kesibukan karena tidur, ia bisa bermimpi menurut kesiapannya. Ketika kebebasannya dari segala
kesibukan dengan kematian lebih sempurna,
ilmu dan pengetahuannya dalam hal ini tentu
lebih sempurna.
Dalam hal ini, ada sisi benar dan sisi salahnya sehingga tidak ditolak semuanya dan tidak juga diterima semuanya. Kebebasan jiwa untuk melihat ilmu dan pengetahuan,tidak bisa diperoleh tanpa kebebasan itu. Namun, jika jiwa itu benar-benar bebas, ia tidak bisa melihat ilmu Allah yang disampaikan kepada rasul-Nya secara rinci tentang rasul-rasul dan umat-umat terdahulu, tentang hari Kiamat, perintah dan larangan, asma dan sifat, dan perkara lainnya yang tidak bisa diketahui, kecuali melalui wahyu. Akan tetapi, kebebasan jiwa ini bisa membantu pengetahuan tentang semua itu, yang relatif bisa dipastikan dengan cara yang mudah, dekat, dan banyak, tanpa harus membawa jiwa pada aktivitas jasad.
Ada yang berpendapat bahwa
semua
ini merupakan ilmu yang disampaikan kepada jiwa secara spontan, tanpa ada sebabnya. Ini merupakan pendapat orang- orang
yang biasa mengingkari sebab, hukum, dan kekuatan. Ini termasuk pendapat yang bertentangan dengan syariat, akal,
dan fitrah.
Adapula yang berpendapat bahwa mimpi itu
merupakan perumpamaan yang disampaikan Allah
kepada hamba-Nya, tergantung pada kesiapannya dan malaikat yang menangani
mimpi. Terkadang, mimpi berupa perumpamaan yang disampaikan seseorang sehingga sesuai dengan
kenyataan, berdasarkan ilmu, dan pengetahuannya.
Pendapat ini terlihat lebih kuat dari dua
pendapat sebelumnya. Namun,
mimpi tidak hanya sebatas itu. Ada sebab-sebab lain seperti yang sudah
disebutkan di atas, yaitu
menggambarkan pertemuan beberapa ruh—yang satu menggambarkan kepada yang lain, adanya
bisikan malaikat ke dalam hati hamba,
dan pengetahuan ruh tentang segala sesuatu tanpa adanya sarana
apa pun.
Abu Abdullah bin Mandah al-Hâfizh menyebutkan di dalam kitab hıı-Na/s
wa ar-Rûh_, dari hadis Muhammad
bin Humaid, Abdurrahman bin Maghra’ ad-Dausi telah menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Ajlan, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya,
ia berkata, “Umar bin Khaththab
bertemu Ali bin Abi Thalib lalu Umar berkata kepadanya: ‘Wahai
Abu Hasan, mungkin
engkau menyaksikan, sedangkan kami tidak ada atau kami menyaksikan dan
engkau tidak ada. Ada tiga hal yang
akan aku tanyakan kepadamu, mungkin
engkau mengetahui sebagian
darinya.’
Ali bin Abi Thalib bertanya:
‘Perkara apa yang engkau maksud itu?’
Umar bin Khaththab menjawab: ‘Seseorang
mencintai orang lain, padahal orang yang
mencintai itu tidak melihat suatu kebaikan pun dari orang yang dicintainya.
Dan seseorang membenci orang lain, padahal orang yang membencinya itu tidak melihat satu keburukan pun dari orang
yang dibencinya.’
Ali berkata: ‘Benar, aku mendengar
Rasulullah
bersabda: ’Sesungguhnya,
ruh-ruh itu seperti pasukan berkumpul yang bertemu
di udara dan mereka berusaha
untuk saling mengenali seperti
kuda yang mengendus
temannya. Jika ruh-ruh
itu saling mengenal, ta akan
bersatu dan jika ruh-ruh itu tidak saling
mengenal, ia akan berberpisah.’
Umar berkata: ‘Itu yang pertama.’
Lalu Umar %. melanjutkan perkataannya: ‘Seseorang menyampaikan hadis, padahal ia lupa dan justru pada saat lupa itulah ia menyebutkan
hadis tersebut.
Ali berkata: ‘Benar, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: ’Tidaklah ada di dalam hati itu selain ada satu hati yang terhalang mendung yang menghalangi rembulan ketika rembulan itu bersinar. Jika rembulan itu terhalang mendung, keadaan menjadi gelap. Jika mendung itu menghilang, keadaan menjadi terang. Ketika hati itu hendak memberitahukan lalu terhalang mendung, ia menjadi lupa. Jika mendung itu menyingkir, ia menjadi ingat kembali.’
Umar berkata: ‘Itu yang kedua.’
Lalu Umar melanjutkan perkataannya:
‘Seseorang bermimpi di antara
mimpinya itu
ada yang benar dan ada pula yang dusta.’
Ali berkata: ‘Benar, aku
pernah mendengar Rasulullah %
bersabda: ‘Tidaklah seseorang tidur lelap, melainkan ruhnya dibawa ke Arsy, yang tidak bangun sebelum tiba di Arsy maka itulah
mimpi yang benar.
Adapun yang bangun
sebelum tiba di Arsy maka itulah mimpi yang dusta.’
Umar berkata: ‘Itulah tiga perkara yang selama ini aku cari jawabannya. Segala puji bagi Allah yang telah membuatku
mengetahuinya sebelum aku mati’.”
Baqiyyah bin Walid berkata,
“Shafwan bin Amr telah menceritakan kepadaku, dari Sulaim
bin Amir al-Hadrami, ia berkata, “Umar bin Khaththab berkata: ‘Aku
heran terhadap mimpi seseorang melihat sesuatu yang tidak pernah terlintas di
dalam pikirannya hingga
ia seperti memegang tangan dan melihat sesuatu, padahal sebenarnya tidak.’ Maka Ali bin
Abi Thalib berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah berfirman: Allah memegang
nyawa îseseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika tidur;
maka Dia tahan nyawa (orang)
yang telah Dia
tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan.’ (QS. Az-Zumar: 42J
Ali melanjutkan: ‘Ruh-ruh itu dibawa naik (ke langit) ketika tidur dan apa yang dilihat
ketika ia berada
di langit maka itu adalah
benar. Ketika ruh itu dikembalkan ke jasadnya, setan bertemu dengan
ruh itu di udara lalu mendustakannya. Maka mimpi yang dilihatnya pada saat itu adalah batil’.”
Sulaim bin Amir berkata, “Maka Umar bin Khaththab terkagum atas perkataan Ali itu.” Menurut
Ibnu Mandah, ini adalah
kabar yang masyhur dari Shafwan bin Amr dan lainnya, yang juga diriwayatkan
dari Abu Darda’.
Ath-Thabrani menyebutkan hadis dari Ali
bin Thalhah bahwa Abdullah bin Abbas berkata kepada
Umar bin Khaththab, “Wahai Amirul
Mukminin, ada beberapa masalah yang ingin aku
tanyakan kepadamu.” Umar menjawab, “Bertanyalah semaumu.”
Abdullah bin Abbas berkata,
“Wahai Amirul Mukminin,
karena apa seseorang itu menjadi ingat? Karena apa
seseorang lupa? Mengapa mimpi itu benar? Dan mengapa mimpi itu dusta?”
Maka Umar berkata kepadanya, “Sesungguhnya, di atas hati itu ada awan, seperti halnya awan yang menutupi rembulan. Jika awan ini menutupi hati, hati anak Adam menjadi lupa. Jika awan itu hilang, hati yang sebelumnya lupa menjadi ingat. Namun, mengapa mimpi itu menjadi benar dan dusta? Sesungguhnya, Allah telah berfirman: ’Allah memegang nyawa îseseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur.’ (QS. Az-Zumar: 42}
Siapa yang ruhnya masuk ke kerajaan langit maka itu adalah mimpi yang benar dan jika tidak masuk ke kerajaan langit, itu mimpi yang dusta.”
Ibnu Luhai'ah meriwayatkan dari Utsman
bin Nu'aim ar-Ru’aini, dari Abu Utsman
al-Asbbahi, dari Abu Darda, ia berkata, “Jika seseorang tidur, ruhnya dibawa
naik hingga sampai ke Arsy. Jika ruh itu suci, diperkenankan
untuk sujud di sana. Adapun
jika ruh itu kotor,
tidak diperkenankan sujud di sana.”
Ja'far
bin Aun meriwayatkan dari Ibrahim
al-Hajari, dari Abu Ahwash, dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata,
“Sesungguhnya, ruh-ruh itu seperti
pasukan yang berkumpul (bertemu)
dan mengendus untuk mengenali
seperti kuda yang mengendus temannya. Jika ruh-ruh
itu saling mengenal,
ia akan bersatu
dan jika ruh-ruh itu tidak
saling mengenal, ia akan berpisah.”
Sejak
dulu hingga sekarang, orang-orang tentu menyadari akan hal ini dan menyaksikannya. Jamil bin Ma'mar
al-Udzri berkata dalam syaimya,
“Waktu siang terus bergolak hingga malamnya
Ruhku dalam haribaan yang menyatu dengan ruhnya.”
Adapun yang berkata, “Orang yang tidur
bisa mimpi berbincang-bincang dengan orang lain yang masih hidup, mungkin
jarak antara keduanya cukup jauh. Adapun orang yang dilihat dalam mimpinya itu dalam keadaan terjaga (tidak
tidur) sehingga ruhnya tidak berpisah dari jasadnya lalu bagaimana ruh keduanya bisa saling bertemu?’
Hal ini dapat dijawab, “Mungkin,
ini merupakan gambaran
yang diberikan malaikat berupa mimpi kepada orang yang
sedang tidur atau khayalan dari orang
yang mimpi itu sendiri, seperti
yang dikatakan Habib
bin Aus dalam
syairnya,
‘Waspadai kepalsuan yang mendatangimu
Karena bisikan-bisikan yang datang dari hatimu.’
Terkadang ada dua ruh yang selaras dan
hubungan antara keduanya sangat erat sehingga tiap-tiap dari keduanya dapat
merasakan apa yang dirasakan oleh temannya. Jika tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh temannya meski
ada kedekatan hubungan antara mereka berdua, sungguh
orang-orang telah menyaksikan pada hal itu
kejadian yang aneh.’ Maksudnya, ruh
orang-orang yang masih hidup dapat saling bertemu sebagaimana ruh orang yang
hidup dapat bertemu dengan ruh orang yang sudah meninggal.
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya, ruh-ruh
itu saling bertemu di udara lalu saling mengenal
dan saling mengingat. Kemudian malaikat mimpi mendatangi ruh itu dengan membawa
kabar baik atau kabar buruk. Mereka mengatakan: ‘Allah telah mengutus malaikat untuk membawa mimpi yang benar, mengajarkan, dan mengilhamkan kepadanya
pengetahuan tentang setiap ruh, namanya, keadaannya yang berkaitan dengan agama dan dunianya,
tabiat dan pengetahuannya, sehingga
tidak ada yang tersamar dan tidak ada yang salah dalam hal ini.’
Malaikat itu membawa lembaran ilmu gaib Allah
dari Ummul Kitab, tentang apa yang akan menimpa
orang itu meliputi
kebaikan dan keburukannya, baik dalam agama
maupun dunianya. Orang itu diberi
gambaran dan perumpamaan sesuai dengan kebiasaannya. Terkadang diberi
kabar gembira dengan kebaikan yang telah dilakukannya, diberi peringatan dari kemaksiatan yang pernah dilakukannya, diberi peringatan
terhadap sesuatu yang tidak disenangi, dan sebab-sebab yang bisa menghindarkan diri darinya serta hikmah atau kemaslahatan lain yang Allah
jadikan di dalam mimpi,
sebagai limpahan nikmat dan rahmat-Nya serta kebaikan dan kemurahan-Nya. Allah
menjadikan salah satu caranya adalah
melalui pertemuan ruh-ruh yang kemudian
saling mengingat dan mengenali.
Berapa
banyak orang yang bertobat, menjadi
baik, zuhud di dunia, dan ber-
sunguh-sungguh pada akhirat hanya karena mimpi
yang dialaminya dalam tidur. Berapa banyak orang yang menjadi kaya,
mendapatkan harta simpanan atau harta
terpendam melalui
(petunjuk) mimpi.”
Dalam kitab Al-Muj"alasah karya Abu
Bakar Ahmad bin Marwan al-Maliki disebutkan dari Ibnu Qatadah, dari Abu Hatim,
dari al-Ashma’i dari al-Mu’tamir bin Sulaiman,
dari seseorang yang memberitahukan kepadanya, ia berkata: “Suatu ketika, kami mengadakan perjalanan jauh. Kami berjumlah tiga orang. Ketika salah seorang di antara kami tidur, kami melihat sesuatu seperti sebuah
lampu keluar dari hidungnya. Selanjumya, sesuatu yang menyerupai
lampu itu masuk ke sebuah gua yang berada tidak jauh dari tempat kami lalu cahaya seperti
lampu itu keluar lagi dan masuk kembali ke dalam hidung teman
kami. Lalu teman kami terbangun dan mengusap-usap mukanya.
Ia berkata: ‘Aku baru saja mimpi yang sangat menakjubkan. Aku melihat di dalam gua itu ada ini dan ini.’ Maka,
kami pun masuk ke gua itu dan kami mendapatkan di dalamnya sisa-sisa
harta simpanan.”
Abdul Muththalib juga pernah bermimpi
agar dirinya mendatangi air zamzam.
Dan ia pun mendapatkan harta terpendam di tempat itu.
Umair bin Wahb pernah bermimpi
dan dalam mimpi itu ada yang berkata kepadanya, “Bangun dan pergilah ke suatu rumah pada bagian ini dan itu lalu galilah maka engkau akan mendapatkan
harta peninggalan ayahmu!” Ayahnya memang
pernah menimbun hartanya
yang melimpah dan meninggal dunia sebelum
berwasiat atas harta itu. Maka, Umair pun bangun dari tidurnya
dan langsung menggali tempat-tempat yang ada di rumah tersebut
seperti yang dikabarkan dalam mimpinya. Ia mendapatkan
10.000 dirham dan emas yang sangat banyak. Dengan uang itu, ia bisa melunasi
utangnya. Keadaannya dan
keluarganya pun menjadi lebih
baik. Hal itu terjadi tidak lama setelah ia masuk Islam. Maka, putrinya yang paling
kecil berkata kepadanya, “Wahai ayah, Tuhan kita yang telah mencintai
kita dengan agama-Nya, lebih baik daripada Hubal dan Uzza. Kalau tidak karena ayah masuk Islam, Allah tidak akan mewariskan
harta benda ini kepadamu. Ayah hanya akan menyembah Hubal dan
tidak mendapatkan kebaikan.”
Ali bin Abi Thalib al-Qairawani al-Abir berkata, “Apa yang terjadi pada Umair ini dan ditemukannya harta terpendam melalui petunjuk mimpi merupakan kejadian yang sangat mengagumkan bagi kami dan kami saksikan pada zaman kami di kota kami, yang dialami oleh Abu Muhammad Abdullah al-Bughanisi. la adalah seorang laki-laki saleh dan terkenal karena sering mimpi bertemu dengan ruh orang-orang yang sudah meninggal dan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang gaib. Apa yang dialaminya itu diceritakan kepada keluarga dan kerabatnya sehingga akhirnya lama menjadi terkenal.
Pada suatu hari ada seseorang yang datang kepadanya
lalu mengadu bahwa teman dekatnya meninggal dunia tanpa
berwasiat apa pun. Padahal, teman dekatnya itu memiliki harta yang banyak,
tetapi tidak diketahui
di mana tempatnya. Siapa tahu hartanya
itu bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Maka pada malam harinya
Abu
Muhammad berdoa kepada Allah sehingga
ia mimpi bertemu dengan orang yang ciri-cirinya
telah disebutkan. Lalu ia menanyakan
perkara yang disampaikan kepadanya dan orang yang sudah meninggal tersebut memberitahukannya.”
Di antara
kelebihan yang dimiliki Abu Muhammad terkait dengan mimpi adalah sebagaiman yang dikisahkan dalam riwayat berikut.
Ada seorang wanita salehah meninggal dunia.
Ia mempunyai uang 7 dinar
yang dititipkan. Wanita yang dititipi hartanya itu datang kepada Abu Muhammad
dan mengadu tentang apa yang menimpa
dirinya. Wanita itu memberitahukan namanya
dan nama wanita yang telah meninggal dunia. Keesokan harinya,
wanita itu datang lagi kepada
Abu Muhammad dan Abu Muhammad berkata kepadanya,
“Fulanah (wanita yang sudah meninggal) telah berpesan untukmu:
‘Hitunglah dari atap rumahku
sebanyak tujuh kayu,
engkau akan mendapatkan uang dinar di dalam atap kayu yang ketujuh, yang tersimpan di dalam sobekan kain wol!’ Lalu
wanita itu melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dan ia benar-benar mendapatkan uang dinar itu seperti yang dikatakan temannya yang telah meninggal dunia itu.
Al-Qairawani juga menceritakan bahwa ia diberitahu seseorang. Orang itu berkata, “Aku dibayar oleh seorang wanita
kaya untuk merobohkan rumahnya. Padahal, rumahnya
itu dibangun dengan biaya yang sangat
mahal. Ketika aku akan merobohkan rumahnya,
ia menyuruhku untuk menghentikannya, juga atas
persetujuan beberapa orang yang ada di sekitamya. Aku bertanya: ‘Ada apa?’ Wanita pemilik rumah itu menjawab: ‘Demi Allah, menurutku tidak perlu merobohkan rumah ini. Ayahku
sudah meninggal dunia. la adalah
orang yang kaya raya, tetapi kami tidak mendapatkan harta yang
banyak. Suatu saat aku berpikir bahwa hartanya dipendam
sehingga aku akan merobohkan rumah ini, siapa tahu aku mendapatkan
harta itu di dalamnya.’
Sebagian orang yang hadir di tempat itu
berkata: ‘Mengapa engkau tidak
menggunakan cara yang paling mudah untuk
mengetahui harta itu.’ Wanita itu
bertanya: ‘Cara apa itu?’
Mereka
menjawab: ‘Temuilah fulanah
dan mintalah tolong kepadanya agar mencarikan jalan keluar
dari kisahmu, siapa
tahu ia mimpi bertemu dengan
ayahmu sehingga ia
bisa menunjukkan di mana harta ayahmu. Dengan begitu, engkau tidak perlu
bersusah payah dan tidak repot.’
Wanita pemilik rumah itu menemui orang
yang dimaksud dan kembali lagi menemui kami. Ia mengatakan bahwa
ia telah menulis
namanya dan nama ayahnya,
yang kemudian diserahkan kepada orang tersebut.
Keesokan harinya ketika aku hendak
memulai kerja, wanita
pemilik rumah itu datang dari rumah orang tersebut seraya
berkata: ‘Sesungguhnya, orang itu telah berkata
kepadaku: ‘Aku mimpi bertemu ayahmu
yang mengatakan bahwa harta
itu tersimpan di dalam sebuah
celukan tanah’.’ Maka kami pun mulai menggali tanah seperti yang ditunjukkan
dan aku mendapatkan sebuah bungkusan kain, temyata bungkusan itu berisikan
banyak harta.
Kami pun sangat heran dengan kejadian ini. Namun, wanita pemilik rumah
itu menganggap bahwa harta yang ditemukan itu masih terlalu sedikit. Lalu ia berkata: ‘Harta ayahku
lebih banyak dari yang kita temukan ini. Aku
harus menemui orang itu lagi.’ Maka wanita
pemilik rumah itu mendatangi orang tersebut dan memohonnya sekali lagi.
Pada keesokan harinya perempuan pemilik rumah itu datang seraya menceritakan bahwa orang itu
berkata kepadany: ‘Sesungguhnya, ayahmu telah berkata kepadaku: ‘Galilah
di bawah kolam besar yang bentuknya empat persegi yang dijadikan tempat penyimpanan minyak’!’ Aku pun menggali tempat itu
dan mendapatkan wadah besar. Lalu wanita
pemilik rumah itu mengambilnya. Akan tetapi, wanita
itu belum juga puas dan masih ingin harta yang
lain lagi dari peninggalan ayahnya. Maka ia meminta pertolongan lagi kepada
orang tersebut. Namun, ketika datang dari tempatnya, ia tampak muram
dan sedih seraya
berkata bahwa orang itu mengatakan bahwa ia mimpi bertemu ayah
dan ayah berkata kepadanya: ‘Ia telah mengambil apa yang telah ditetapkan.
Adapun harta lainnya diduduki ifrit dari jin, yang menjaganya dan hendak
diberikan kepada siapa yang berhak’.”
Kisah
seperti di atas sangat banyak.
Begitu juga penggunaan obat untuk meng- obati penyakit menurut petunjuk
mimpi yang dilihat ketika tidur juga sangatlah banyak.
Aku (Ibnul Qayyim)
diberitahu tidak hanya oleh satu orang
yang tidak condong kepada Syekhul
Islam Ibnu Taimiyyah bahwa ia bertemu
dengan Ibnu Taimiyyah setelah beliau
meninggal. Dalam mimpinya itu, ia
bertanya tentang beberapa masalah farai'dh dan masalah lainnya
yang dianggapnya rumit. Pertanyaannya pun dijawab dengan benar oleh Syekhul Islam.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa masalah ini bukan termasuk perkara yang
diingkari, kecuali oleh orang yang tidak mengerti masalah ruh,
hukum-hukum, dan keadaannya.
0 komentar:
Posting Komentar