Blog ini adalah sarana berbagi informasi tentang amalan, doa dan dzikir serta tatacara dan manfaatnya

Sabtu, 14 Mei 2022

APAKAH RUH ORANG HIDUP BISA BERTEMU RUH ORANG MENINGGAL?

Share:

APAKAH RUH ORANG YANG SUDAH MENINGGAL BISA SALING BERTEMU?




Apakah Ruh Orang-Orang yang Sudah Meninggal Dunia Bisa Saling Bertemu, Berkunjung,dan Saling Mengingat?


PERTANYAAN INI MERUPAKAN hal penting. Adapun jawaban atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut.

Sesungguhnya, ruh itu terbagi menjadi dua. Ruh yang mendapat siksa dan ruh yang mendapat nikmat. Ruh yang mendapat siksa sibuk dengan siksa yang menimpanya sehingga tidak bisa saling berkunjung dan bertemu. Adapun ruh yang mendapat nikmat akan bebas dan tidak tertahan sehingga bisa saling berkunjung dan bertemu serta saling mengingat apa yang pernah terjadi di dunia dan apa yang akan dialami para penghuni dunia lainnya. Setiap ruh bersama pendampingnya yang menyerupai amal perbuatannya. Ruh Nabi kita, Muhammad J, berada di ar-Rafiq al-Alå (tempat yang sangat tinggi).

Allah  berfirman,

“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad) maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nahi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.“ (QS. An-Nisâ’: 69}

Kebersamaan ini berlaku di dunia, di alam barzakh, dan pada hari pembalasan. Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya pada tiga fase kehidupan ini.

Jarir meriwayatkan dari Manshur, dari Abu Dhuha, dari Masyruq, ia berkata, “Para sahabat Nabi berkata kepada beliau: ‘Tidak sepatutnya kita berpisah dengan engkau di dunia ini. Jika engkau wafat, engkau akan ditinggikan di atas kami sehingga kami tidak bisa melihat engkau lagi.’ Oleh karena itu, Allah menurunkan ayat: ‘Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad) maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya’.” (QS. An-Nisâ’: 69J

Asy-Sya’bi berkata, “Seorang dari kalangan Anshar datang menemui Nabi dalam keadaan menangis. Beliau bertanya: ‘Mengapa engkau menangis?’ Orang Anshar itu menjawab: ‘Wahai Nabi Allah, demi Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, engkau lebih aku cintai daripada cintaku kepada keluargaku dan hartaku. Demi Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada cintaku kepada diriku sendiri. Ketika sedang bersama istriku, aku ingat engkau lalu ia pun menarikku, tetapi aku ingin selalu melihatmu. Tiba-tiba aku ingat, jika engkau meninggal dunia dan aku pun meninggal dunia. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak akan bisa berkumpul lagi dengan engkau, kecuali di dunia saja. Engkau akan ditinggikan bersama para nabi. Dan jika aku masuk surga, aku akan berada di tempat yang lebih rendah dari tempat engkau.’

Nabi tidak menanggapi perkataan orang Anshar itu hingga turun ayat: ‘Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad) maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. ..’ hingga ‘... dan cukuplah Allah kang Maha Mengetahui’.” (QS. An-Nisâ’: 69—70)

Allah  juga berfirman,

“Wahai Jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-bu dan masuklah ke dalam surga-bu” (QS. Al-Fajr: 27—30)

Maksudnya, masuklah ke dalam golongan mereka dan berkumpullah bersama mereka. Inilah yang difirmankan kepada ruh saat meninggal.

Dalam kisah Isra’ Mi'raj yang disebutkan dalam hadis Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, “Ketika Nabi %p di-mi’ra/-kan, beliau bertemu dengan Ibrahim, Musa, dan Isa. Lalu mereka saling mengingatkan akan hari Kiamat. Maka, lebih dahulu mereka menanyakannya kepada Ibrahim. Namun, Ibrahim tidak mempunyai pengetahuan tentang hari Kiamat itu. Lalu mereka menanyakan kepada Musa. Namun, Musa juga tidak mempunyai pengetahuan tentang hari itu. Akhirnya, mereka sepakat untuk menyerahkan masalah ini kepada Isa. Isa berkata: ‘Allah memberitahukan kepadaku perkara-perkara sebelum datangnya hari Kiamat.’ Lalu Isa menyebutkan munculnya Dajjal seraya berkata: ‘Aku akan turun dan aku yang akan membunuhnya. Kemudian manusia kembali ke tempatnya masing-masing. Muncullah Ya'juz dan Ma'juz serta rombongannya yang keluar dari segala penjuru. Mereka tidak melewati air melainkan minum hingga habis. Tidak melewati sesuatu, melainkan merusaknya. Kemudian manusia memohon kepadaku.

Lalu aku berdoa kepada Allah agar mematikan mereka. Namun, bumi memohon kepada Allah karena ia tersiksa oleh ban bangkai mereka. Manusia memohon lagi kepadaku, aku pun berdoa kepada Allah agar mengirimkan air dari langit, menghanyutkan jasad mereka, lalu melemparkannya ke dalam laut. Kemudian gunung-gunung meletus dan bumi dikatakan menjadi satu hamparan. Lantas Allah memberitahukan kepadaku bahwa jika hal itu terjadi, itulah hari Kiamat bagi manusia. Wanita yang hamil tidak lagi diketahui oleh keluarganya, kapan ia akan melahirkan bayinya, pada waktu siang atau malam’.” Hadis ini disebutkan oleh Hakim, Baihaqi, dan yang lainnya. Hadis ini juga merupakan dalil yang menyebutkan bahwa ruh-ruh itu saling mengingatkan tentang ilmu.

Allah juga telah mengabarkan tentang keadaan para syuhada bahwa mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dan mendapatkan limpahan rezeki. Mereka mendapat- kan kabar gembira karena akan bertemu dengan para syuhada lain yang akan menyusul sesudah mereka. Mereka mendapatkan kabar gembira berupa nikmat Allah dan karunia-Nya. Ini semua menunjukkan tentang pertemuan mereka, yang bisa dilihat dari tiga sisi:

Para syuhada hidup di sisi Tuhan mereka. Jika mereka hidup, tentu mereka bisa saling bertemu.

Para syuhada mendapat kabar gembira dengan kedatangan saudara-saudara mereka dan juga bertemu dengan mereka.

Lafal yastabsyirûn secara bahasa bisa berarti kabar gembira yang disampaikan sebagian di antara mereka kepada sebagian yang lain, seperti halnya kata yatabâsyarûn.

Banyak riwayat yang serupa tentang hal ini, seperti yang disebutkan Shalih bin Basyir, ia berkata, “Aku pernah mimpi bertemu Atha’ as-Salimi tidak lama setelah ia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya dalam mimpi itu: ‘Semoga Allah merah- matimu karena sudah sekian lama engkau selalu dirundung kesusahan di dunia.’ la menjawab: ‘Demi Allah, kondisi yang demikian itu (selalu dirundung kesusahan sewaktu di dunia) membuahkan kegembiraan dan kesenangan yang abadi.’ Aku kembali bertanya: ‘Di tingkatan manakah engkau berada?’

la menjawab: ‘Bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya’.”

Abdullah bin Mubarak berkata, “Aku mimpi bertemu Sufyan ats-Tsauri tidak lama setelah ia meninggal dunia. Maka aku bertanya kepadanya: ‘Apa yang diperbuat Allah terhadap dirimu?’ Ia menjawab: ‘Aku bertemu Muhammad dan pasukannya’.” Shakhr bin Rasyid berkata, “Aku mimpi bertemu Abdullah bin Mubarak tidak lama setelah ia meninggal dunia. Aku bertanya kepadanya: ‘Bukankah engkau

sudah meninggal dunia?’

la menjawab: ‘Ya, aku sudah meninggal.’

Aku bertanya: ‘Apa yang diperbuat Allah terhadap dirimu?’

la menjawab: ‘Allah mengampuniku dengan satu ampunan yang meliputi semua dosa.’

Aku bertanya: ‘Bagaimana dengan Sufyan ats-Tsauri?’

la menjawab: ‘Hebat ... hebat (ungkapan sanjungan dan kekaguman), ia ber- sama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu) para nahi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya’.”

Ibnu Abi Dunya menyebutkan hadis dari Hammad bin Zaid, dari Hisyam bin Hassan, dari Yaqzhah bin Rasyid, ia berkata, “Marwan al-Muhallimi adalah tetanggaku. la seorang hakim yang gigih. Ketika meninggal dunia, aku melihat adanya sinar kegembiraan yang terpancar dari mukanya. Tidak lama setelah itu, aku mimpi bertemu dengannya, seperti mimpi yang terjadi layaknya dalam tidur. Aku bertanya: ‘Wahai Abu Abdillah, apa yang telah diperbuat Allah terhadapmu?’

la menjawab: ‘Allah telah memasukkanku ke dalam surga.’ Aku bertanya: ‘Kemudian apa lagi?’

la menjawab: ‘Aku dipertemukan dengan golongan kanan.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa lagi?’

la menjawab: ‘Aku dipertemukan dengan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah.’

Aku kembali bertanya: ‘Siapakah teman-teman yang engkau lihat di sana?’ la menjawab: ‘Aku melihat Hasan, Ibnu Sirin, dan Maimun bin Siyah’.” Hammad menceritakan bahwa Hisyam bin Hassan berkata bahwa ia diberitahu Ummu Abdillah—ia termasuk wanita terbaik di Basrah—yang mengatakan, “Aku mimpi layaknya mimpi yang dialami orang dalam tidur, seakan-akan aku masuk rumah yang sangat bagus kemudian aku memasuki taman itu. Pemandangan yang sangat indah ini membuatku selalu teringat. Ketika aku sedang berada di taman, ada seorang laki-laki bersandar di sebuah dipan yang terbuat dari emas dan di sekelilingnya banyak pelayan yang memegang bejana. Aku benar-benar terkagum melihat keindahan ini, apalagi ketika ada yang memberitahukan bahwa laki-laki itu adalah Marwan al-Muhallimi. Seketika itu pula aku melompat ke arahnya lalu duduk di atas dipannya. Ketika aku bangun tidur, aku melihat jenazah Marwan sedang diantar ke pemakaman lewat depan rumahku, tepat pada saat itu juga.”

Telah diriwayatkan dalam as-Sunnah Nabawi secara jelas tentang ruh-ruh yang saling bertemu dan saling mengenal. Ibnu Abid Dunya berkata, “Muhammad bin Abdullah bin Bazigh telah menceritakan kepadaku, Fudhail bin Sulaiman an- Numairi telah mengabarkan kepadaku, Yahya bin Abdurrahman bin Abu Labibah telah menceritakan kepadaku, dari kakeknya,ia berkata: ‘Ketika Bisyr bin Barra’ bin Ma'rur meninggal dunia, tampak kegembiraan memancar dari wajah Ummu Bisyr, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, ia senantiasa berharap agar meninggal dunia lebih dulu dari Bani Salamah. Lalu, apakah orang-orang yang sudah meninggal itu bisa saling mengenal sehingga aku dapat mengirimkan salam untuk Bisyr’?

Rasulullah menjawab: ‘da (bisa), demi diriku yang ada di genggAnıan-Nya, wahai tim mu Bisyr, sesungguhnya orang-orang yang sudah meninggal dunia itu saling mengenal sebagaimana burung-burung yang ada di pucuk pohon.’

Tidaklah seseorang dari Bani Salamah yang akan meninggal, kecuali Ummu Bisyr menemui orang itu dan berkata kepadanya: ‘Wahai fulan, semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu.’ Orang itu menjawab: ‘Semoga kesejahteraan juga dilimpahkan kepadamu.’ Lalu, Ummu Bisyr berkata: ‘Sampaikanlah salamku kepada Bisyr’.”

Ibnu Abu Dunya menyebutkan dari hadis Sufyan, dari Amr bin Dinar, dari Ubaid bin Umair, ia berkata, “Para penghuni makam saling menunggu dan menanyakan kabar. Jika ada orang yang baru meninggal datang menemui mereka, mereka bertanya kepadanya: ’Apa yang telah dilakukan fulan?’

Orang yang baru meninggal berkata: ‘la melakukan kebaikan.’ Mereka bertanya: ‘Apa yang telah dilakukan fulan?’

Orang yang baru meninggal berkata: ‘la melakukan kebaikan.’ Mereka bertanya: ‘Apa yang dilakukan fulan?’

Orang yang baru meninggal itu balik bertanya: ‘Apakah kalian belum mendengar kabarnya, atau ia belum menemui kalian?’

Mereka menjawab: ‘Belum.’ Maka, orang yang baru meninggal itu pun berkata: ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi ra/i’iin. la telah menempuh jalan selain jalan yang kita tempuh’.”

Shalih al-Murri berkata, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa ruh-ruh itu bisa saling bertemu setelah meninggal dunia. Ruh-ruh yang lebih dahulu meninggal bertanya kepada ruh yang mendatangi mereka, “Bagaimana tempat kembalimu? Di tubuh seperti apakah dulu engkau berada, di tubuh yang baik ataukah yang buruk?” Maka ruh yang ditanya itu pun menangis dengan sekeras-kerasnya.

Ubaid bin Umair berkata, “Jika ada orang yang meninggal dunia, ruhnya akan disambut oleh ruh-ruh yang lebih dahulu meninggal. Mereka meminta kabar darinya sebagaimana rombongan yang baru datang dari perjalanan yang dimintai kabar: ’Apa yang dilakukan fulan? Apa yang dilakukan fulan?’ Jika ruh itu menjawab: ‘la telah meninggal dunia,’ tetapi ruh itu tidak datang menemui mereka, mereka berkata: ‘la dibawa pergi ke induk Neraka Jahanam’.”

Said bin Musayyib berkata, “Apabila seseorang meninggal dunia, orang tuanya (keluarganya) menyambut kedatangannya sebagaimana orang hilang (pergi sekian lama) yang disambut ketika datang.”

Ubaid bin Umair juga berkata, “Sekiranya aku putus asa untuk bisa bertemu keluargaku yang sudah meninggal dunia, aku pun jadi murung sendiri.”

Mu'awiyah bin Yahya menyebutkan dari Abdullah bin Salamah bahwa Abu Ruhm al-Masma’i’ telah menceritakan kepadanya, Nabi bersabda, “Apabila Jiwa seorang mukmin dicabut, ia akan disambut orang-orang yang mendapat rahmat Allah sebagaimana orang yang akan memberitakan kabar gembira disambut di dunia lalu mereka berkata: ‘Lihatlah saudara kalian agar ia beristirahat karena ia dalam kesusahan.’ Maka mereka pun bertanya kepadanya: Apa yang dilakukan fulan dan apa yang dilakukan fiılanah? Apakah fulanah sudah menikah?’ Jika mereka bertanya kepadanya tentang seseorang yang mati sebelumnya lalu yang ditanya menjawab: ‘la sudah meninggal sebelumku, mereka berkata: ’lnnâ lillâhi wa innâ llaihi raJi’ûn. Rupanya ia pergi ke induk Neraka Jahannam. Induknya menjadi buruk, begitu pula yang masaj di dalamnya’.”

Telah disebutkan sebelumnya hadis Yahya bin Bustham: “Misma’ telah meriwayatkan kepadaku, salah seorang kerabat Ashim al-Jahdari telah meriwayatkan kepadaku, ia berkata: Oku mimpi bertemu al-Jahdari setelah dua tahun ia meninggal dunia. Dalam mimpi itu aku bertanya: ‘Bukankah engkau sudah meninggal dunia lebih dulu?’

la menjawab: ‘Ya, benar.’

Aku bertanya: ‘Dimana engkau berada?’

la menjawab: ‘Demi Allah, aku berada di salah satu taman surga. Aku bersama dengan sekelompok temanku. Kami berkumpul pada setiap malam Jumat dan pagi harinya lalu kami sama-sama menghadap Bakar bin Abdullah al-Muzani untuk mencari kabar tentang kalian.

Aku bertanya lagi: ‘Apakah itu jasad kalian ataukah ruh kalian?’

la menjawab: ‘Sangat tidak mungkin jasad kami. Jasad telah hancur. Hanya ruh-ruh bisa yang saling bertemu’.”


Share:

Selasa, 10 Mei 2022

APAKAH ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA MENGETAHUI KEDATANGAN ORANG YANG MENZIARAHI MAKAMNYA, DAN MENDENGAR UCAPAN SALAM MEREKA?



 Dikutip dari buku yang berjudul HAKEKAT RUH  ( Ibnul Qayyim Al- Jauziyyah ),  

DIRIWAYATKAN DARI IBNU Abdil Bar, dari Nabi J, beliau bersabda, “Seorang mosfim yang melewati makam saudara yang dikenalnya saat di dunia lalu ia mengucapkan salam kepadanya maka Allah akan mengembalikan ruh kepada orang yang sudah meninggal dunia itu hin


gga ta menjawab salam
(soodora)rıyo.” Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia bisa mengetahui orang yang menziarahi makamnya dan menjawab salam yang ditujukan kepadanya.

Di dalam kitab Ash-Shah_îhain (Shah_îh_ al-Bukhârî dan Shahîh Musfim) diriwayatkan dari Rasulullah  melalui beberapa jalur periwayatan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk mengumpulkan jenazah-jenazah kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar lalu memasukkannya ke dalam sebuah sumur tua. Selanjutnya, beliau mendekati sumur itu seraya memanggil nama-nama mereka, “Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan, apakah kalian sudah mendapatkan bahwa apa yang dijanjikan Tuhan kalian adalah benar? Sesungguhnya, aku sudah mendapatkan bahwa apa yang dijanjikan Tuhanku kepadaku adalah benar.” Umar bin Khaththab bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau bisa berbicara dengan orang yang sudah meninggal?” Beliau menjawab, “Demi Yang mengutusku dengan kebenaran, kalian tidak lebih mendengar daripada mereka atas apa yang aku katakan, hanya saja mereka tidak bisa menjawab.“ Bahkan, Rasulullah juga mengabarkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia dapat mendengar suara sandal orang-orang yang mengiringi jenazahnya saat mereka pergi meninggalkan makam.

Nabi mensyariatkan kepada umatnya bahwa jika mengucapkan salam kepada penghuni makam, ucapkanlah: “Assalâmu ’alaikum dâra qaumin mu'minîn (semoga kesejahteraan terlimpah afos kalian, tempat tinggal kaum Mukminin).” Ucapan salam seperti ini hanya ditujukan kepada orang yang dapat mendengar dan berakal (mengerti). Jika tidak dimaksudkan untuk itu, ucapan ini seperti halnya ucapan yang ditujukan kepada orang yang ma'diim (tidak ada) atau jamâd (benda mati).

Para ulama salaf (salaful shâlih)2 telah menyepakati hal ini. Demikian juga halnya banyak atsar yang meriwayatkan bahwa orang yang sudah meninggal dapat mengetahui ziarah orang yang masih hidup dan merasa gembira. Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Abid Dunya mengatakan di dalam kitab Al-Qubûr bab “Ma’rifah al-mautâ bi ziyârah al-ah â’ (Orang yang Sudah Meninggal Dunia Mengetahui Ziarah Orang-Orang yang Masih Hidup)”, “Muhammad bin Aun berkata bahwa Yahya bin Yaman menceritakan, dari Abdullah bin Sam'an, dari Zaid bin Aslam, dari Aisyah y” ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: ‘Ketika seseorang menziarahi makam saudaranya dan ta duduk di sisi pusaranya, saudara yang sudah meninggal itu mendengar dan menjawab perkataannya hingga seseorang itu pergi (meninggalkan makam)’.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ^, Muhammad bin Qudamah al-Jauhari berkata, “Jika seseorang melewati makam orang yang dikenalnya lalu ia mengucapkan salam, orang yang sudah meninggal itu akan membalas salamnya dan mengenalinya. Jika seseorang melewati makam orang yang tidak dikenalnya lalu mengucapkan salam, orang yang sudah meninggal itu hanya membalas salamnya.” Muhammad bin Husain berkata bahwa salah seorang kerabat Ashim al-Jahdari menceritakan kepadanya, ia berkata, “Aku mimpi bertemu al-Jahdari dua tahun setelah ia meninggal dunia. Dalam mimpi itu aku bertanya: ‘Bukankah engkau sudah meninggal dunia?’ Ia menjawab: ‘Ya, benar.’ Aku bertanya: ‘Engkau berada di mana?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, aku berada di salah satu taman surga. Aku dan beberapa sahabatku berkumpul pada setiap malam Jumat dan pagi harinya lalu kami bersama-sama menemui Bakar bin Abdullah al-Muzani untuk mencari kabar tentang kalian.’ Aku bertanya: ‘Apakah yang berkumpul itu jasad kalian ataukah ruh kalian?” Ia menjawab: ‘Sangat tidak mungkin jasad kami yang berkumpul. Jasad kami telah hancur. Hanya ruh-ruh yang saling bertemu.’ Aku bertanya lagi: ‘Apakah kalian tahu kedatangan kami ke makam kalian?’ la menjawab: ‘Ya, kami tahu ’asyiyyah al-Jum’ah’ (sepanjang Jumat pagi hingga petang), dan pada hari Sabtu hingga terbit matahari.’ Aku bertanya: “Mengapa hal itu hanya berlaku untuk hari Jumat dan tidak pada hari-hari yang lain?’ Ia menjawab: ‘Karena keutamaan dan keagungan hari Jumat.’

Muhammad bin Husain berkata bahwa Hasan al-Qashab menceritakan kepadanya, ia berkata, “Setiap hari Sabtu pagi, aku pergi bersama Muhammad bin Wasi’ ke makam. Kami mengucapkan salam kepada para penghuni yang ada di sana dan mendoakan mereka. Setelah itu, kami pun pulang. Pada suatu hari aku berkata kepada Muhammad bin Wasi’: ‘Bagaimana jika waktu ziarah kita ubah menjadi hari Senin?’ Muhammad bin Wasi’ menjawab: ‘Aku pernah mendengar riwayat bahwa orang-orang yang sudah meninggal dunia dapat mengetahui orang-orang yang menziarahi makamnya pada hari Jumat serta sehari sebelum dan sesudahnya’.”

Muhammad berkata bahwa Sufyan ats-Tsauri menceritakan kepadanya, ia berkata, “Aku pernah mendengar Dhahhak berkata: ‘Siapa yang berziarah pada hari Sabtu sebelum matahari terbit maka penghuni makam mengetahui kedatangannya.’ Lantas, ada yang bertanya kepadanya: ‘Mengapa hal itu bisa terjadi?’ la menjawab: ‘Karena keutamaan dan keagungan hari Jumat’.” Khalid bin Khidas berkata  bahwa Abu Tayyah menceritakan kepadanya, ia berkata, “Mutharrif pergi pada malam hari dan pada malam itu  bertepatan malam Jumat.” (Khalid) berkata, bu mendengar Abu Tayyah berkata: ‘Telah  sampai kabar kepadaku bahwa Mutharrif  diterangi dengan cahaya yang ada pada cemetinya. Ia berjalan hingga larut  malam. Ketika tiba di area makam sambil tetap menunggu kudanya, ia  tidak kuasa menahan rasa kantuk. (Dalam tidumya), Mutharrif bermimpi melihat orang-orang yang sudah meninggal duduk di atas pusaranya masing- masing. Mereka berkata: ‘Ini adalah Mutharrif yang datang pada hari Jumat.’

Mutharrif pun bertanya kepada mereka: ‘Apakah kalian tahu saat kami  berziarah pada hari Jumat?’ Mereka menjawab: ‘Ya, kami tahu dan kami juga  bisa mendengar apa yang dikatakan burung  pada hari itu.’ Mutharrif kembali  bertanya: ‘Apa yang dikatakan burung itu?’

Mereka menjawab: ‘Burung itu berkata, salâm, salâm (selamat sejahtera)’.” Muhammad bin Husain berkata bahwa Fadhl bin Muwaffaq, anak paman Sufyan bin Uyainah, menceritakan kepada, ia berkata, “Ketika ayahku meninggal, aku sangat sedih dan terpukul. Karena itu, setiap hari aku menziarahi  makamnya. Namun, kemudian aku mulai jarang menziarahi makamnya. Pada suatu hari ketika aku menziarahi makam ayahku dan duduk di sisi pusaranya, tiba-tiba aku mengantuk hingga akhirnya aku pun tertidur. Dalam tidurku, aku bermimpi seolah-olah makam ayahku terbuka dan tampak ayahku duduk dengan tetap mengenakan kain kafan serta dalam kondisi dan raut muka seperti orang yang sudah meninggal. Aku menangis tatkala melihatnya.’

Ayahku berkata: ‘Wahai  anakku, apa yang membuatmu jarang  menziarahi makamku?’ Aku bertanya: ‘Wahai ayahku, apakah  engkau mengetahui  kedatanganku.’ Ayahku menjawab: ‘ Setiap kali kamu datang ke sini, pasti aku tahu. Aku senang dan gembira saat kamu datang, begitu  juga orang-orang yang ada di  sekelilingku,  mereka mendapatkan kemudahan  berkat doamu.’ Alhasil, sejak saat itu aku selalu menziarahi makam ayahku.” Muhammad berkata bahwa Utsman bin Saudah ath-Thufawi —ibunya adalah seorang ahli ibadah  dan dijuluki Râhibah  (Wanita Rahib)—menceritakan kepadanya, ia berkata, “Ketika  ajal menjemput, ibuku mendongakkan kepalanya ke langit seraya berkata: ‘Wahai harta dan pusakaku yang menjadi sandaran dalam hidup dan matiku. Janganlah Engkau telantarkan aku ketika aku mati dan janganlah Engkau telantarkan aku ketika aku berada di dalam liang lahat.’ Akhirnya, ibuku pun meninggal dunia. Setiap hari Jumat aku menziarahi  makamnya, mendoakannya, serta memohonkan ampun untuknya dan untuk para penghuni makam lainnya. Pada suatu hari aku  mimpi bertemu ibuku, aku pun bertanya, ‘Wahai Ibu, bagaimana  keadaanmu sekarang?’

Ibu menjawab: ‘Wahai anakku, sesungguhya kematian itu adalah kesulitan yang sangat berat.  Alhamdulillah  aku  sekarang berada di alam barzakh yang penuh dengan keberkahan Allah. Di dalamnya kami beralaskan raihân  (bunga-bunga yang harum aromanya) dan bertelekan pada bantal yang terbuat dari sutra tebal dan tipis hingga kelak datang hart Kiamat.”

Aku bertanya: Adakah  pesan yang  ingin Ibu sampaikan kepadaku?’ Ibu menjawab: ‘Ya.’ Aku kembali bertanya: ‘Apakah itu?’

Ibu menjawab: ‘Janganlah engkau berhenti berziarah  dan  mendoakan kami. Sesungguhnya, Ibu gembira  dengan kedatanganmu  pada hari Jumat. Pada saat engkau datang, dikatakan kepadaku: ‘Wahai wanita rahib, ini anakmu datang.’ Aku pun gembira, begitu juga para penghuni lain yang ada di sekitarku, mereka merasa gembira dengan kedatanganmu’.”

Muhammad bin Abdul Aziz bin Sulaiman berkata bahwa Bisyr bin Manshur menceritakan kepadanya, ia berkata, “Sewaktu  terjadi  wabah penyakit tanri (penyakit menular, epidemi), ada seorang laki-laki zuhud yang pergi ke makam untuk ikut shalat jenazah. Ketika  menjelang sore hari, ia berdiri di  pintu pemakaman seraya berkata: ‘Semoga Allah mendengar ketakutan kalian, merahmati keterasingan kalian, mengampuni kesalahan kalian, dan menerima kebaikan kalian.’ Kalimat ini kerap ia ucapkan. Pada suatu hari orang itu berkata: ‘Pada suatu sore aku langsung pulang ke  rumah dan  tidak mampir ke pemakaman.  Namun, aku tetap berdoa seperti biasa. Saat tidur, aku mimpi ada sekelompok orang  mendatangiku. Aku pun bertanya: ‘Siapakah  kalian dan apa keperluan kalian’?’

Mereka menjawab: ‘Kami adalah para penghuni makam.’ Aku  bertanya: ‘Apa keperluan  kalian?’ Mereka menjawab: ‘Engkau sudah  terbiasa memberikan hadiah kepada kami sebelum  pulang ke rumahmu.’ Aku kembali  bertanya: ‘Hadiah apa yang kalian maksudkan?’ Mereka menjawab: ‘Doa  yang biasa engkau panjatkan untuk kami.’ Alhasil,  sejak itu aku kembali  merutinkan berziarah dan berdoa untuk para penghuni  pemakaman, dan aku tidak pernah  meninggalkan kebiasaan itu’.” Muhammad berkata bahwa bahwa Sulaim bin Umair pernah melewati sebuah area pemakaman, saat itu ia ingin  buang air kecil. Seorang  temannya berkata, “Bagaimana jika  engkau turun ke pemakaman  itu lalu buang air  kecil di sana?” Sulaim pun menangis mendengar saran temannya tersebut lalu  berkata, “Mahasuci Allah. Demi  Allah, aku benar-benar malu  terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia sebagaimana aku malu terhadap  orang-orang yang masih hidup. Sekiranya orang yang  sudah meninggal dunia  itu  tidak mengetahui  apa yang aku lakukan, tentu aku tidak akan malu.”

Disebutkan bahwa  orang yang sudah meninggal dunia bisa mengetahui  amal yang  dilakukan para  kerabat atau teman-temannya  yang  masih hidup. Abdullah bin Mubarak berkata, Tsaur bin Yazid menceritakan  kepadaku, dari  Ibrahim, dari Abu Ayyub, ia berkata, “Amal orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada orang-orang yang sudah meninggal. Jika mereka melihat amal yang baik, mereka senang dan gembira. Namun, jika melihat amal yang buruk, mereka berkata: ‘Ya Allah, singkirkanlah perbuatan itu’.” Ibnu Abi Dunya berkata bahwa Abbad bin Abbad menemui  Ibrahim bin Shaleh yang berada di Palestina. Ibrahim bin  Shaleh berkata, “Berilah  aku nasihat.” Abbad bin Abbad menjawab, “Nasihat seperti  apa yang bisa aku sampaikan kepadamu  sementara Allah telah membaguskan keadaanmu? Telah sampai kabar kepadaku bahwa amal orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada kerabat  mereka  yang sudah meninggal. Maka  lihatlah, amalan  apa yang dapat kamu perlihatkan kepada Rasulullah?” Mendengar hal itu, Ibrahim bin Shaleh langsung menangis hingga janggutnya basah bersimbah air mata.

Ibnu Abid Dunya berkata bahwa Shadaqah bin Sulaiman al-Ja’fari  menceritakan kepadanya, ia  berkata, “Aku mempunyai perilaku dan kebiasaan yang tidak baik. Ketika ayahku  meninggal, aku bertobat dan menyesal  atas sikap  dan  perilaku  selama ini. Aku pun dirundung kesedihan. Dalam tidurku, aku mimpi bertemu ayah, ia berkata, “Wahai anakku, aku senang jika amal-amalmu diperlihatkan kepada kami, amal yang menyerupai amal orang-orang yang saleh. Namun, saat ini, aku sangat malu karena hal itu. Karena  itu, janganlah kamu membuat aku sedih dan malu di hadapan orang-orang yang sudah  meninggal di sekitarku.”

Ibnu Abid Dunya  berkata, “Setelah kejadian itu, aku selalu mendengarnya mengucapkan doa pada setiap  malam (waktu sahur) —sewaktu  di Kufah, ia adalah tetanggaku: ‘Ya Allah, aku memohon  kepada-Mu tobat yang sungguh-sungguh. Wahai Yang membaguskan  orang-orang saleh, Yang memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat, dan Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih’.” Banyak sekali atsar dari sahabat berkenaan dengan perkara ini. Ada orang Anshar dari kerabat  Abdullah bin Rawahah yang berkata, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari amal yang membuatku  malu  di hadapan  Abdullah bin Rawahah.” Kerabatnya  mengucapkan hal itu setelah Abdullah  bin  Rawahah meninggal sebagai syahid.

Cukuplah dalam  hal ini, orang yang mengucapkan salam kepada penghuni makam disebut  dengan zâ'iran (peziarah). Sekiranya  ahli kubur tidak mengerti (tidak mendengar) salam itu, orang yang mengucapkannya  tidak pantas  disebut dengan peziarah. Karena orang yang diziarahi, jika tidak  mengerti atas kunjungan orang yang datang kepadanya, tidak tepat disebut dengan ungkapan menziarahinya. Inilah yang dipahami dengan makna ziarah kubur oleh semua umat manusia.

Begitu pula dengan mengucapkan salam kepada  mereka. Pasalnya, salam  yang diucapkan kepada orang  yang tidak melihat dan tidak  mendengamya adalah sesuatu yang mustahil. Yang pasti, Nabi mengajarkan  umatnya jika berziarah kubur hendaklah  mengucapkan  salam sebagai berikut.


      Salâmun ’alaikum ahla ad-diyâr min al-mu'minîn wa al-muslimîn, wa innâ insyâ allâh bikum lâh_iqûn, yarhamullâhu al-mustaqdimina minnâ wa minkum wa al-musta’khirun, nas’alullâha lanâ wa lakum al-’âfiyah Salam sejahtera atas kalian wahai para penghuni kubur dari kaum Mukminin dan Musfiııtin. Sesungguhnya, atas kehendak Allah kami akan bertemu kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang lebih dahulu meninggal daripada kami dan kalian, serta yang lebih akhir. Kami memohon keselamatan kepada Allah bagi kami dan kalian.



Oleh karena itu, salam, seruan, dan panggilan ini menandakan adanya orang yang dapat mendengar, melihat, dan dapat membalas salam walaupun  orang yang  mengucapkan salam itu tidak  dapat mendengar jawaban salamnya. Sekiranya seseorang melaksanakan shalat dekat  dengan orang-orang yang sudah meninggal, tentu mereka bisa melihatnya,  mengetahui shalatnya, dan mereka berandai-andai bisa mendapatkan nikmat  melaksanakan  shalat seperti itu. Yazid bin Harun berkata, “Sulaiman at-Taimi telah mengabarkan kepada kami, dari Abu Utsman an-Nahdi bahwa suatu hari Ibnu Sas keluar untuk mengiring jenazah sambil mengenakan pakaian sederhana. Ketika sampai di pemakaman, ia berkata: ‘Aku melaksanakan shalat dua rakaat di sana lalu duduk bersandar di dekat makamnya. Demi Allah, tiba-tiba hatiku bergetar karena aku mendengar suara dari dalam makam: ‘Pergilah engkau dari sisiku, janganlah engkau menggangguku! Sesungguhnya, kalian adalah orang-orang yang bisa beramal, tetapi tidak mengetahuinya. Adapun kami adalah orang-orang yang mengetahui, tetapi tidak bisa beramal. Sekiranya aku bisa melaksanakan shalat dua rakaat seperti yang engkau kerjakan, tentu hal itu lebih aku sukai daripada ini dan itu’.”

Ibnu Abid Dunya berkata bahwa Abu Qilabah menceritakan kepada kami, “Aku datang dari Syam menuju Basrah. Ketika malam tiba, aku singgah di suatu tempat. Aku lalu  berwudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat  kemudian aku baringkan kepalaku di atas  sebuah  makam dan aku tertidur. Aku pun  terbangun ketika penghuni  makam itu mengadu  kepadaku seraya  berkata: ‘Engkau telah mengusikku sejak  semalam. Kalian adalah orang-orang yang bisa beramal, tetapi tidak mengetahuinya. Adapun kami mengetahui, tetapi tidak bisa beramal.’ Selanjumya, penghuni makam  itu berkata: ‘Shalat dua rakaat yang engkau kerjakan, lebih baik daripada dunia dan  seisinya. Semoga Allah memberikan balasan kepada penghuni dunia. Sampaikanlah salam kami kepada mereka. Sesungguhnya, doa yang mereka panjatkan sampai kepada kami berupa cahaya sebesar gunung’.”

Husain al-Ijli berkata bahwa Malik bin Mighwal telah menceritakan kepadanya, ia berkata, “Suatu ketika,  aku pergi ke pemakaman  dan  duduk di area  pemakaman itu. Tiba-tiba ada seseorang datang mendekati sebuah makam lalu meratakan tanahnya.

Setelah itu, orang itu menoleh ke arahku lalu duduk. Aku bertanya: ‘Makam siapakah itu?’ la menjawab: ‘Saudaraku.’ Aku bertanya: ‘Saudara kandungmu?’ Ia menjawab: ‘Saudaraku karena Allah. Aku mimpi bertemu dengannya maka aku pun bertanya kepadanya: ‘Hai fulan, apakah engkau masih hidup? Segala puji bagi Allah.’ la menjawab: ‘Engkau telah mengatakannya. Sekiranya aku dapat mengucapkan tasbih, itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.’ Ia menuturkan: ‘Apakah engkau tidak melihat ketika orang-orang memakamkanku? Sesungguhnya, si fulan berdiri lalu melaksanakan shalat  dua rakaat. Sekiranya aku mampu untuk  melaksanakan  shalat dua rakaat seperti itu, tentu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya’.”

Abu Bakar at-Taimi berkata  bahwa Humaid ath-Thawil telah menceritakan kepadanya, ia berkata, “Kami pergi ke  tempat ar-Rabi’ pada masanya. Kami  berangkat pada malam Jumat  agar bisa  melaksanakan shalat Jumat  pada pagi harinya. Selanjutnya, kami melewati pemakaman. Kami pun masuk ke dalam dan pada saat itu kami melihat ada jenazah yang sedang akan dimasukkan ke liang lahat. Aku berpikir untuk mencari pahala dengan menshalati jenazah itu. Aku pun segera mendekati makam itu dan shalat dua rakaat dengan  ringan tanpa memanjangkannya. Setelah itu, aku mengantuk hingga tertidur di atas makam. Dalam tidurku, aku  bermimpi bertemu dengan penghuni makam itu. Ia berkata kepadaku: ‘Bukankah  engkau telah shalat dua rakaat tanpa ingin  memanjangkannya?’

Aku jawab: ‘Ya, memang begitu.’

Ia berkata: ‘Kalian bisa beramal, sedangkan kami tidak bisa beramal. Seandainya aku bisa melakukan shalat dua rakaat seperti shalat yang engkau lakukan, hal itu lebih aku sukai daripada dunia dengan segala isinya.’

Aku bertanya: ‘Siapakah orang-orang yang ada di dalam makam itu?’

Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang muslim dan mereka semua mendapatkan kebaikan.’

Aku bertanya: ‘Siapakah di antara mereka yang paling mulia?’

Ia menunjukkan satu makam lalu aku berkata dalam hati, ‘Ya Allah, keluarkanlah orang yang ada di makam itu agar aku dapat berbicara  dengannya.’ Ternyata, orang yang ada di dalam  makam itu benar-benar keluar, orangnya  masih muda. Aku bertanya: ‘Benarkah engkau orang yang paling mulia di tempat ini?’

Ia menjawab: ‘Mereka yang berkata seperti itu.’

Aku bertanya: ‘Mengapa engkau mendapatkan kemuliaan itu? Demi Allah, jika dilihat dari usiamu tidak memungkinkan untuk mendapatkan kemuliaan itu.  Apakah engkau mendapatkannya karena sering menunaikan  ibadah  haji dan umrah, jihad di jalan  Allah, dan banyak beramal?’

Ia menjawab: ‘Aku sering mendapat musibah lalu aku  dianugerahi kesabaran untuk menghadapi berbagai musibah itu. Karena itulah, aku dapat mengungguli mereka’.” Meskipun di  antara riwayat-riwayat ini  ada yang tidak sahih jika ditinjau dari derajat hadisnya, tetapi dengan banyaknya  riwayat  tentang masalah ini sudah menunjukkan kesepakatan maknanya.

Nabi pernah bersabda, “Aku melihat mimpi-mimpi kalian adalah sama bahwa lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” Maksudnya, datangnya lailatul qadar. Jika mimpi kaum Mukminin sama dalam satu hal, itu seperti kesamaan mereka dalam riwayat sebagaimana kesamaan mereka dalam hal melihat baik buruknya sesuatu. Oleh karena itu, apa yang dilihat orang-orang muslim sebagai suatu kebaikan, ia pun baik di sisi Allah. Demikian juga apa yang dilihat oleh orang-orang muslim sebagai suatu keburukan maka ia buruk di sisi Allah. Dalam hal ini, kami tidak menetapkannya semata-mata berdasarkan mimpi, tetapi juga dari sisi dalil dan yang lainnya.

Disebutkan dalam kitab Ash-Shah_ih bahwa orang yang sudah  meninggal  dunia merasa senang kepada  orang-orang yang mengiringi jenazahnya setelah ia dimakamkan. Muslim meriwayatkan dalam SÎıajiîJ-nya, dari hadis Abdurrahman  bin Syimasah al-Mahri, ia berkata, “Kami mengunjungi Amr bin Ash pada saat menjelang ajalnya. Tiba-tiba Amr menangis lama sekali  sambil menghadapkan wajahnya  ke arah dinding. Anaknya bertanya: ‘Mengapa engkau menangis, wahai ayah? Apakah Rasulullah %p tidak memberikan kabar gembira kepada ayah?’

Amr bin Ash menghadapkan wajahnya ke arah kami seraya berkata: ‘Sesungguhnya, perkara yang paling utama bagi kami adalah syahâdah (persaksian) bahwa  tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Dahulu, aku berada  dalam tiga fase manusia. Seperti yang  engkau ketahui, tidak ada seorang pun  yang lebih benci kepada Rasulullah  selain diriku. Tidak ada yang lebih aku sukai selain  dapat menangkap beliau lalu membunuhnya. Sekiranya aku mati dalam keadaan seperti itu, tentu aku termasuk penghuni neraka.

Ketika Allah  memberikan cahaya Islam ke dalam hatiku, aku datang menemui Rasulullah. Pada saat itu aku berkata kepada beliau: ‘Ulurkan tanganmu wahai Rasulullah, agar  aku dapat bersumpah setia (bai'at) kepadamu.’ Rasulullah pun mengulurkan  tangan kanannya, tetapi aku tidak menyambut  uluran tangan beliau. Beliau pun bertanya: ‘Ada apa denganmu, wahai Amr?’

Aku menjawab: ‘Aku akan meminta syarat.’

Beliau kembali bertanya: ‘Syarat apa yang engkau minta?’

Aku menjawab: ‘Engkau mengampuni aku.’

Beliau bersabda: ‘Bukankah engkau sudah tahu bahwa lslam menghapus kesalahan sebelumnya, hijrah menghapus kesalahan sebelumnya, dan haji menghapus kesalahan sebelumnya?’

Sejak saat itu tidak ada orang yang lebih aku cintai daripada Rasulullah. Tidak ada orang yang lebih agung  di mataku  selain beliau hingga aku tidak kuasa  memandang beliau sebagai bentuk  pengagungan  kepada beliau. Sekiranya aku  diminta seseorang untuk menyebutkan sifat-sifat beliau, aku tidak dapat mengatakannya. Pasalnya, mataku tidak  sanggup memandang diri beliau. Sekiranya aku mati dalam keadaan seperti itu, aku berharap semoga aku termasuk  golongan  para penghuni surga. Selanjumya,  kami diberi kewenangan untuk mengurus banyak hal dan aku tidak tahu apa yang ada di sekitarku. Oleh karena itu, jika aku mati, jangan ada wanita yang meratap sedih atas jenazahku dan jangan ada api yang mengiringi jenazahku.

Jika kalian memakamkan jenazahku, taburkanlah tanah di jasadku kemudian buatlah di sekitar makamku tanda seperti binatang yang akan dijadikan kurban dan dagingnya dibagi-bagikan agar aku merasa senang terhadap kalian dan aku dapat melihat apa yang aku kembalikan kepada para utusan Rabbku’.”

Semua keterangan ini menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia merasa senang dengan kedatangan orang-orang yang menziarahi makamnya.

Beberapa ulama salaf mengatakan bahwa mereka pernah berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di atas makam mereka sesaat setelah proses pemakaman. Abdulhaq berkata, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa ia berwasiat agar dibacakan surah al-Baqarah di atas makamnya.” Ma'la bin Abdurrahman juga berpendapat seperti ini.

Pada awalnya, Imam Ahmad mengingkari riwayat ini. Menurutnya, hal itu tidak ada pengaruhnya kepada orang yang telah meninggal. Akan tetapi, kemudian ia menarik kembali pendapatnya, artinya tidak mengingkarinya.

Al-Khallal menyebutkan dalam kitab Al-Jâmi’ bab “Kitâb al-Qirâ’ah ‘frida al- Qubûr (Bacaan untuk Orang yang Sudah Mmeninggal di Atas Makamnya)”, “Abbas bin Muhammad ad-Duri mengabarkan kepada kami bahwa Abdurrahman bin Ala’ bin Lajlaj menceritakan kepadanya, dari ayahnya, ia berkata: ‘Ayahku berpesan, jika aku matt, letakkanlah jasadku di liang lahat sambil mengucapkan: ’Bismillâhi wa ’alâ sumati Rasûlillâh (dengan asma Allah dan menurut sunnah Rasulullah).’ Setelah itu, taburkanlah tanah pada jasadku dan bacakanlah permulaan surah al- Baqarah di dekat kepalaku. Sungguh aku pernah mendengar Abdullah bin Umar mengatakan seperti itu.’

Abbas bin ad-Duri bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang hal ini: ‘Apakah engkau membaca sesuatu di atas makam?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Setelah itu, aku bertanya kepada Yahya bin Ma'in maka ia menceritakan riwayat ini kepadaku.”

Al-Khallal berkata, Hasan bin Ahmad al-Warraq menceritakan kepadaku, Ali bin Musa al-Haddad —ia adalah orang yang shadûq (sangat jujur) —berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari menghadiri prosesi pemakaman jenazah. Ketika jenazah sudah dimakamkan, ada seorang buta yang duduk di sisi makam dan membaca al-Qur’an. Lantas Imam Ahmad berkata: ‘Bacaan semacam ini di atas makam adalah bid'ah.’

Ketika kami sudah meninggalkan pemakaman, Muhammad bin Qudamah bertanya kepada Imam Ahmad: ‘Wahai Abu Abdullah, apa pendapatmu tentang Mubasysyir al-Halabi?’

Imam Ahmad menjawab: ‘Ia adalah orang yang dapat dipercaya.’

Muhammad bin Qudamah bertanya: ‘Apakah engkau pernah menulis hadis darinya?’

Imam Ahmad menjawab: ‘Pernah, Mubasysyir telah mengabarkan kepadaku dari Abdurrahman bin Ala’ bin Lajlaj dari ayahnya bahwa ia berpesan saat dimakam- kan nanti agar dibacakan permulaan dan akhir dari surah al-Baqarah di dekat kepalanya.’

Muhammad bin Qudamah berkata: ‘Aku pernah mendengar Ibnu Umar juga berwasiat seperti itu.’

Imam Ahmad pun lantas berkata: ‘Kalau begitu kembalilah! Katakanlah kepada orang buta itu bahwa ia boleh membacanya’.”

Hasan bin Shabah az-Za’farani berkata, “Aku pernah bertanya kepada asy- Syafi'i tentang hukum membaca al-Qur’an dekat makam maka ia mengatakan bahwa hal itu tidak apa.”

Al-Khallal menyebutkan dari asy-Sya’bi, ia berkata, “Jika ada seseorang yang meninggal dunia dari kalangan Anshar, mereka saling berebut pergi ke pemakaman untuk membaca al-Qur’an di dekat makamnya.” Ia juga berkata, “Abu Yahya an- Naqid mengabarkan kepadaku, ia berkata: ‘Aku mendengar Hasan bin al-Jarawi berkata: ‘Aku melawati makam saudara perempuanku lalu aku membaca surah al-Mulk karena aku teringat keutamaan surah tersebut. Selanjutnya, ada seseorang yang datang kepadaku seraya berkata bahwa ia mimpi bertemu dengan saudara perempuanku. Dalam mimpinya, saudara perempuanku berkata: ‘Semoga Allah menganugerahkan pahala kebaikan kepada Abu Ali karena aku bisa memperoleh manfaat dari apa yang ia baca’.”

Hasan bin Haitsam mengabarkan kepadaku, ia berkata, aku mendengar Abu Bakr bin al-Athrusy, putra dari anak perempuan Abu Nashr bin Tamar berkata, “Ada seseorang yang datang ke makam ibunya pada hari Jumat dan membaca surah Yûsîn. Pada hari yang lain, ia juga membaca surah Yûsîn. Selanjumya, ia berdoa: ‘Ya Allah, jika Engkau berikan pahala atas bacaan ini, berikanlah kepada para penghuni makam ini.’ Pada hari Jumat berikutnya datanglah seorang perempuan seraya berkata: ‘Apakah engkau fulan bin fulanah?’ Ia menjawab: ‘Ya.’ Perempuan itu berkata: ‘Sesungguhnya, aku mempunyai anak perempuan yang sudah meninggal, aku mimpi melihatnya sedang duduk di atas makamnya lalu aku bertanya: ‘Apa yang membuatmu dapat duduk di sana?’ la menjawab: ‘Sesungguhnya, fulan bin fulanah datang ke makam ibunya lalu membaca surah Yûsin dan menghadiahkan pahalanya untuk penghuni makam. Kami pun merasakan kenikmatan itu, kami diampuni, dan juga yang lainnya’.”

Di dalam riwayat an-Nasa’i dan juga lainnya disebutkan dari hadis Ma'qil bin Yassar al-Muzani, Nabi  bersabda, “Bacakanlah surah ¥âsîn di sisi orang yang akan meninggal dunia di antara kalian.”Ada kemungkinan makna yang dimaksudkan bacaan surah ¥âsin di sini adalah ketika seseorang mendekati ajalnya, seperti sabda beliau yang lain: “Tuntunlah orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan llâha illallâh (tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)!” Ada juga kemungkinan maknanya adalah membaca surah Yfisin di dekat makamnya. Namun, makna yang pertama, yaitu membaca surah Yûsîn ketika seseorang mendekati ajalnya lebih kuat berdasarkan beberapa dalil berikut:


Pertama, perintah Rasulullah untuk membaca surah Yfisîn itu sejalan dengan sabda beliau, “Tuntunlah orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan lâ Ilâha illallâh (tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)!”


Kedua, orang yang akan meninggal dunia dapat mengambil manfaat dari surah ini karena di dalamnya mengandung penjelasan tentang tauhid, hari ber- bangkit, kabar gembira berupa surga bagi orang-orang yang memiliki tauhid, dan terkandung kegembiraan bagi orang yang meninggal saat membaca firman Allah : “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menJadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.” (QS. Yâsîn: 26-27)


Ruh sangat  gembira dengan bacaan ini dan ingin segera bertemu Allah  dan  Allah pun gembira  bertemu dengannya. Sesungguhnya, surah Yûsin  merupakan jantungnya  al-Qur’an sehingga mempunyai pengaruh  khusus dan  mengagumkan  jika dibaca  di dekat  orang yang mendekati ajal (sakratulmaut).

Abul Faraj bin al-Jauzi berkata, “Kami berada di dekat syekh Abdul Waqt Abdul Awwal saat ia mendekati ajal. Pada saat terakhir sebelum meninggal, ia memandang ke arah langit sambil tersenyum, seraya membaca ayat: Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menJadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.’ IQS. Yâsîn: 26-27J Selanjutnya, ia meninggal dunia.”


Ketiga, yang biasa dilakukan oleh orang-orang dahulu dan sekarang adalah membaca surah Yûsin di sisi orang yang mendekati ajal.

Keempat, sekiranya para sahabat memahami perintah Nabi dalam sabdanya: “Bacakanlah surah ¥âsin di sisi orang yang akan meninggal di antara kalian,” adalah sebagai bacaan di dekat makam, tentu mereka tidak akan meninggalkannya. Hal ini merupakan perkara yang sudah biasa dan masyhur di antara mereka.

Kelima, manfaat mendengarkan bacaan surah Yfisin adalah hadirnya hati dan pikiran pada detik-detik terakhir keberadaan seseorang di dunia, inilah yang dimaksudkan dari bacaan ini. Namun, jika surah Yûsin ini dibaca di makam, tidak ada pahala yang didapatkan. Pasalnya, pahala bisa didapat dengan membacanya atau mendengarkannya. Berarti, ini merupakan amal, sedangkan orang yang meninggal dunia sudah terputus amalnya.

Al-Hafizh Abu Muhammad Abdul Haq al-Isybili mengartikan hal ini dengan berkata, “Disebutkan bahwa orang-orang yang sudah meninggal dunia bisa bertanya tentang orang-orang yang masih hidup dan bisa mengetahui perkataan dan perbuatan mereka.” Lalu ia berkata bahwa Abu Umar bin Abdul Bar meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas, dari Nabi J: “Tidaklah seseorang melewati makam saudaranya sesama muslim yang dikenalnya lalu ia mengucapkan salam kepadanya, melainkan orang yang sudah meninggal itu mengenalnya dan menjawab salamnya.”

Hal ini juga diriwayakan dari Abu Hurairah secara marfu’, ia berkata, “Jika seseorang tidak mengenal orang yang ada di dalam makam lalu mengucapkan salam kepadanya, ia penghuni makam) hanya membalas salamnya.”

Diriwayatkan dari Aisyah , ia berkata bahwa Rasulullah  bersabda, “Tidaklah seseorang menziarahi makam saudaranya lalu duduk di sisi pusaranya, melainkan orang yang sudah meninggal itu senang atas kedatangannya hingga ia (peziarah) itu pergi meninggalkannya.”

Al-Hafizh Abu Muhammad dalam masalah ini berdalil dengan riwayat Abu Dawud di dalam Susan-nya, dari hadis Abu Hurairah  bahwa Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah akan mengembalikan ruhku hingga aku dapat menjawab salamnya.”

Sulaiman bin Nu'aim berkata, “Aku pernah mimpi bertemu Nabi  lalu aku berkata kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, orang-orang yang datang kepada engkau dan menyampaikan salam kepada engkau, apakah engkau mengetahui salam mereka?’ Beliau menjawab: ‘Ya, dan aku menjawab salam mereka’.”

la juga berkata, “Nabi  mengajarkan kepada para sahabat, apa yang harus mereka ucapkan saat memasuki area pemakaman: ’As-salâmu ’alaikum ahla ad-diyâr (semoga keselamatan bagi kalian penghuni tempat ini)’. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia dapat mengetahui salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya dan juga mengetahui doa orang yang berdoa untuknya.”

Abu Muhammad berkata bahwa disebutkan dari Fadhl bin Muwaffaq, ia berkata, “Aku sesekali menziarahi makam ayahku kemudian aku lebih sering menziarahi makamnya. Suatu hari aku melihat jenazah sedang dimakamkan di tempat ayahku dimakamkan. Namun, karena terburu-bum dengan urusanku, aku tidak mendatanginya. Pada malam harinya, aku mimpi bertemu ayah, ia berkata kepadaku: ‘Wahai anakku, mengapa engkau tidak mengunjungiku?’

Aku bertanya: ‘Wahai ayah, apakah engkau tahu ketika aku menziarahi makammu?’

Ayahku menjawab: ‘Wahai anakku, demi Allah, aku sudah mengetahui kedatanganmu sejak engkau berada di jembatan itu hingga tiba di sisi makamku. Aku melihatmu saat duduk hingga engkau pergi dan aku terus melihatmu sampai akhirnya engkau pergi melewati jembatan itu’.”

Ibnu Abi Dunya berkata, Ibrahim ibnu Basyar al-Kufi menceritakan kepadaku, ia berkata, Fadhl bin Muwaffaq menceritakan kepadaku lalu ia menceritakan kisah tersebut.

Ada riwayat sahih dari Amr bin Dinar, ia berkata, “Jenazah yang telah meninggal dunia mengetahui apa yang terjadi di tengah keluarganya setelah kematiannya. Bahkan, saat mereka memandikan dan mengafaninya, Jenazah itu memandangi mereka.”

Juga ada riwayat sahih dari Mujahid, ia berkata, “Sesungguhnya, seseorang bisa merasakan gembira setelah ia berada di alam kubur karena kesalehan anaknya.” Ini menunjukkan bahwa hal itu juga dilakukan orang-orang terdahulu hingga sekarang, seperti menalkin jenazah di makamnya. Sekiranya orang yang ada di alam kubur tidak bisa mendengar dan mengambil manfaat darinya, tentu perbuatan itu tidak bermanfaat dan hanyalah sia-sia belaka. Ketika Imam Ahmad ditanya tentang perkara ini, ia menganggap sebagai perbuatan yang baik dan menjadikan sandaran atau dalil untuk beramal.

Dalam perkara ini ada riwayat hadis dha’if (lemah) yang disebutkan oleh ath-Thabrani di dalam Mu’/am-nya dari hadis Abu Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah            bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia dan kalian sudah meratakan makamnya dengan tanah, hendaknya salah seorang dari kalian berdiri di sisi makam searah dengan kepalanya sambil mengucapkan: ’Hai fulan bin fulanah, karena sesungguhnya jenazah yang ada dalam itu bisa mendengar, tetapi tidak bisa menjawab. SelanJutnya, hendaklah ia mengucapkan lagi: ’Hai fulan bin fulanah, untuk kedua kalinya. Lalu hendaknya ia duduk dan mengucapkan lagi: ’Haifulan bin fulanah.’ karena sesungguhnya jenazah yang ada dalam makam itu berkata: ’Berilah kami tuntunan, niscaya Allah akan merahmatimu,’ tetapi kalian tidak mendengar lalu hendaklah ia berkata: ’Ingatlah apa yang engkau bawa saat meninggalkan dunia, yaitu persaksian llâha illallâh wa anna Muhammadarasûlullâh, wa annaka radhı“ta billâhi rabban, wa bil lslâmi dı“nan, wa bi muhammadin nabiyyan, wa bil qur'âni imâman (kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah bahwa engkau ridha Allah sebagai Tuhanmu, lslam sebagai agamamu, Muhammad sebagai nabimu, dan al-Qur’an sebagai imammu).

Sesungguhnya, Malaikat Munkar dan Nedir saling menJauh sambil berkata: ’Men- Jauhlah dariku! Tidak ada gunanya kami dekat dengan orang ini karena hujah telah dibacakan kepadanya sehingga Allah dan rasuf-Nya menjadi pembela di hadapan kedua malaikat itu’.”

Ada seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika ibu dari orang yang meninggal itu tidak diketahui?” Beliau menjawab, “la dinasabkan kepada ibunya, Hawa.”

Meskipun hadis ini derajat kesahihannya tidak kuat, tetapi karena perbuatan ini terus dilakukan di maria pun dan kapan pun, juga tidak adanya pengingkaran maka ini menunjukkan bahwa perbuatan itu bisa diamalkan.

Allah  tidak menganggap amal ini hanya sekadar tradisi di tengah umat Islam yang menyebar di dunia barat dan timur. Umat yang paling sempurna akalnya dari segala umat yang ada dan yang paling banyak pengetahuannya, yang tidak mungkin berseru kepada orang yang tidak bisa mendengar dan mengetahui. Hal ini dianggap perbuatan baik yang tidak diingkari oleh siapa pun, bahkan disunnahkan orang terdahulu untuk orang di kemudian hari.

Sekiranya orang yang diseru tidak bisa mendengar, tentunya seruan itu seperti ucapan yang ditujukan pada tanah, batu, pohon, atau sesuatu yang tidak ada samas ekali. Jika ada seorang ulama yang menganggap baik suatu perkara, ulama lain tidak boleh ada yang mencela atau meremehkannya.

Abu Dawud meriwayatkan dalam Sorun-nya dengan sanad yang tidak ada masalah padanya bahwa Nabi  pernah menghadiri pemakaman jenazah seseorang. Setelah dimakamkan, beliau bersabda, “Mohonkanlah keteguhan untuk saudara kalian karena saat ini ia sedang ditanya.”

Rasulullah mengabarkan bahwa pada saat itu jenazah tersebut sedang ditanya. Jika sedang ditanya, berarti jenazah tersebut bisa mendengar apa yang diucapkan kepadanya. Disebutkan pula dari Nabi  dengan riwayat yang sahih bahwa jenazah bisa mendengar suara sandal orang-orang yang mengiring jenazahnya juga saat mereka pergi meninggalkan makam.

Abdulhaq meriwayatkan dari seseorang orang saleh, ia berkata, “Saudaraku meninggal dunia lalu aku mimpi bertemu dengannya. Aku bertanya kepadanya: ‘Wahai saudaraku, bagaimana keadaanmu ketika engkau diletakkan di dalam liang lahat?’ la menjawab: ‘Seseorang datang dengan membawa bara api, sekiranya bukan karena seseorang yang berdoa untukku, tentu aku sudah binasa’.”

Syabib bin Syaibah berkata, “Ibuku berwasiat kepadaku saat menjelang wafat: ‘Wahai anakku, jika engkau sudah memakamkan jasadku, berdirilah di sisi pusaraku lalu ucapkan: ‘Wahai Ummu Syabib, ucapkanlah f‹i Ilâha illallâh (tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)’.’ Karena itu, setelah aku memakamkan jenazahnya, aku berdiri di sisi makamnya seraya berkata: ‘Wahai Ummu Syabib, ucapkanlah Ilâha illallâh (tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah).’ Setelah itu, aku pun pulang. Pada malam hari aku mimpi bertemu ibu, ia berkata: ‘Wahai anakku, aku hampir saja binasa sekiranya engkau tidak mengatakan kepadaku: ’Lâ Ilâha illallâh (tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)’,’ engkau telah menjaga wasiatku, wahai anakku.”

Ibnu Abid Dunya menyebutkkan dari Tumadhir binti Sahl, istri Ayyub bin Uyainah berkata, “Aku mimpi bertemu Sufyan bin Uyainah dan ia berkata: ‘Semoga Allah memberikan pahala kebaikan kepada saudaraku, Ayyub, karena ia sering menziarahi makamku. Pada hari ini pun ia ada di dekat makamku’.” Ayyub berkata, “Benar, pada hari ini aku datang menziarahi kubumya.”

Disebutkan dengan riwayat sahih dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Syahr bin ÎJ_ausyab bahwa Sha'b bin Jatstsamah dan Auf bin Malik, keduanya adalah bersaudara, bahwa Sha'b berkata kepada Auf, “Wahai saudaraku, siapa pun di antara kita yang lebih dulu meninggal, ia harus datang kepada saudaranya (dalam mimpi).”

Auf bertanya, “Apakah yang seperti ini bisa terjadi?” Sha'b menjawab, “Ya, bisa.”

Ternyata Sha'b yang lebih dulu meninggal dunia. Setelah itu, Auf mimpi—seperti halnya yang dialami orang yang sedang tidur, seakan-akan Sha'b datang menemuinya. Auf menceritakan bahwa ketika itu ia berkata, “Wahai saudaraku.”

Sha'b menjawab, “Ya.”

Auf bertanya, “Apa yang terjadi pada dirimu?”

Sha'b menjawab, “Allah telah mengampuni dosa-dosa kami setelah ada musibah itu.”

Auf berkata, “Aku melihat ada cahaya hitam di leher Sha'b. Karena itu, aku pun bertanya kepadanya: ‘Wahai saudaraku, apa cahaya hitam itu?’

Sha'b menjawab: ‘Aku pernah meminjam 10 dinar kepada seorang Yahudi. Di dalam sarung anak panahku, terdapat 10 dinar. Maka, berikanlah uang itu kepada orang Yahudi tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak ada kejadian di tengah keluargaku sepeninggalku, melainkan kabarnya sampai kepadaku, termasuk kabar tentang seekor kucing kecil milikku yang mati beberapa waktu lalu. Ketahuilah, bahwa putriku akan meninggal dunia enam hari lagi. Karena itu, berbuat baiklah kepadanya.’

Ketika terbangun pada pagi harinya, aku berkata kepada diriku sendiri: ‘Ini adalah kabar yang benar.’ Selanjutnya, aku menemui keluarganya yang menyambutku dengan ucapan: ‘Selamat datang wahai Auf. Beginikah yang engkau lakukan terhadap harta peninggalan saudaramu? Engkau tidak pernah menemui kami sejak sepeninggalnya?’

Aku memberi alasan seperti yang biasa dilakukan orang-orang. Pandanganku langsung tertuju pada sarung anak panah milik Sha'b lalu aku menurunkannya dan mengeluarkan isinya. Di dalamnya ada sebuah kantong yang berisi beberapa dinar. Lalu, aku pergi dengan membawa dinar itu kepada orang Yahudi tersebut. Aku bertanya: ‘Apakah engkau mempunyai hak yang masih ada pada Sha'b?’

Orang Yahudi itu menjawab: ‘Semoga Allah merahmati Sha'b. Ia adalah sahabat Rasulullah  yang paling baik. Sebenarnya dinar-dinar itu pun miliknya.’

Maka aku berkata: ‘Ceritakanlah kepadaku (perkara yang sebenamya).’

Ia menjawab: ‘Ya, aku pernah meminjamkan 10 dinar kepadanya, tetapi aku sudah merelakan uang itu. Demi Allah, memang segitu jumlahnya.’

Aku berkata: ‘Ini adalah kejadian yang pertama (sebagaimana yang dikabarkan dalam mimpi, pen)’.”

Auf kembali menuturkan—setelah kembali kepada keluarga Sha'b, ia berkata, “Apakah ada kejadian di tengah kalian sepeninggal Sha'b?”

Mereka menjawab, “Benar, ada kejadian ini dan itu.” Auf kembali bertanya, “Cobalah kalian ingat!”

Mereka menjawab, “Benar, seekor kucing kami mati beberapa hari yang lalu.”

Auf berkata, “Ini adalah kejadian kedua (sebagaimana yang dikabarkan dalam mimpi, pen).”

Ia pun kembali bertanya, “Di maria putri saudaraku?” Mereka menjawab, “Ia sedang bermain.”

Selanjutnya, Auf mendekatinya dan menyentuh tubuhnya. Ternyata suhu tubuhnya sangat tinggi maka ia pun berkata kepada mereka, “Berbuatlah yang baik kepadanya.”

Tepat pada hari keenam, putri Sha'b itu meninggal dunia.

Ini semua merupakan tanda kefakihan pemahaman Auf bin Malik. Ia termasuk generasi sahabat. Ia melaksanakan wasiat Sha'b bin Jatstsamah sepeninggalnya dan ia menyadari kebenaran perkataan Sha'ab dengan adanya petunjuk yang berkaitan dengan apa yang dikatakan Sha'b kepadanya lewat mimpi bahwa jumlah dinar itu sepuluh keping di dalam kantong anak panah. Namun, ia harus memastikan terlebih dahulu kepada orang Yahudi. Dengan begitu, Auf bisa memastikan permasalahannya, dan barulah ia memberikan dinar itu kepada orang Yahudi tersebut.

Hal demikian itu hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang pintar dan cerdas. Mereka itulah para sahabat Rasulullah. Bisa jadi, generasi mendatang akan mengingkari tindakan Auf itu dengan mengatakan, “Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi Auf untuk mengambil dinar-dinar milik Sha'b —padahal harta itu menjadi milik anak-anaknya yang yatim sebagai ahli warisnya —lalu memberikannya kepada orang yahudi hanya berdasarkan mimpi?

Contoh pemahaman cerdas seperti ini hanya Allah anugerahkan kepada seseorang bukan yang lain, yakni kisah Tsabit bin Qais bin Syammas. Kisah ini diceritakan oleh Abu Umar bin Abdul Bar dan yang lainnya. Abu Umar berkata, “Abdul Waris bin Sufyan telah mengabarkan kepada kami, Qasim bin Ashbagh telah menceritakan kepada kami, dari Tsabit bin Qais bin Syammas bahwa Rasulullah bersabda kepadanya: Wahai Tsabit, apakah engkau ridha hidup dalam keadaan terpuJi, mati dalam keadaan syahid, dan kelak engkau pun masuk surga’?” Malik bin Anas berkata, “Tsabit bin Qais pun terbunuh sebagai syahid pada perang Yamamah.”

Abu Amr berkata, “Hisyam bin Ammar meriwayatkan dari Shadaqah bin Khalid, Abdurrahman bin Yazid bin Jabir telah memberitahukan kepada kami, ia berkata: ‘Atha’ al-Khurasani telah menceritakan kepadaku, ia berkata: ‘Putri Tsabit bin Qais bin Syammas telah menceritakan kepadaku, ia berkata bahwa ketika turun ayat ’Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nahi,’ (QS. Al-j}ujurât: 2) ayahnya (Tsabit bin Qais) masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat hingga tidak mau menemui Rasulullah. Maka Rasulullah mencarinya, bahkan mengutus orang untuk mencarinya dan menanyakan kabarnya. Tatkala ditanyakan kepada Tsabit bin Qais mengenai sika[pnya itu, Qais menjawab, “Aku orang yang bersuara keras dan aku takut amalku menjadi sia-sia.” Rasulullah pun bersabda, “Engkau bukan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam ayat itu. Bahkan, engkau akan hidup secara baik dan mati secara baik pula.”

Ketika turun ayat: “Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri,” (QS. Luqman: l8J Qais menutup pintu rumahnya dan terus menangis. Ia tidak mau menemui Rasulullah. Karena itu, beliau mencarinya, bahkan mengutus seseorang untuk mencarinya dan mendapatkan kabarnya. Qais pun berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang menyukai keindahan dan aku juga suka menjadi pemimpin kaumku.” Beliau bersabda, “£ngkau tutar termauk golongan mereka. Bahkan, engkau hidup dalam keadaan terpuji, meninggal dunia dalam keadaan syahid, dan engkau akan masuk surga.”

Pada waktu Perang Yamamah, Tsabit bin Qais pergi dengan Khalid bin Walid untuk menghadapi Musailamah.’ Ketika dua pasukan sudah saling berhadapan dan siap tempur. Tsabit dan Salim, pembantu Abu Hudzaifah berkata, “Tidak seperti yang kami lakukan saat bertempur bersama Rasulullah.”

Keduanya pun membuat lubang sendiri-sendiri lalu melompat ke arah musuh dan menyerbu mereka hingga keduanya terbunuh. Pada waktu itu, Tsabit membawa baju besi yang bagus dan mahal harganya. Ketika ada seseorang dari kaum Muslimin melewati jenazahnya, orang tersebut mengambil baju besi itu. Setelah kejadian itu, ada seorang muslim lainnya bermimpi bertemu Tsabit yang mendatanginya seraya berkata, “Aku menyampaikan wasiat kepadamu. Janganlah engkau mengatakan bahwa ini hanyalah sekadar mimpi lalu engkau melalaikannya begitu saja. Waktu aku terbunuh, ada seorang muslim yang lewat di dekatku dan mengambil baju besiku. Posisi orang itu ada di bagian ujung pasukan. Di dalam kemah orang itu ada seekor kuda yang digembalakan dan diikat dengan tali. Orang itu menyimpan baju di dalam periuk dari batu dan periuk itu diduduki oleh seseorang. Temuilah Khalid dan suruhlah ia untuk mengambil baju perangku itu! Jika engkau sudah kembali ke Madinah dan menghadap kepada Khalifah Rasulullah, Abu Bakar ash-Shiddiq, katakanlah kepadanya bahwa aku masih mempunyai utang sekian dan sekian. Fulan yang sebelumnya sebagai budakku statusnya menjadi merdeka, begitu juga dengan si fulan.”

Orang itu pun menemui Khalid bin Walid dan menyampaikan pesan Tsabit bin Qais yang dikatakan lewat mimpinya itu. Maka, ia mengambil baju besi milik Tsabit dan menyerahkannya kepada Abu Bakar setelah menceritakan mimpi orang itu. Abu Bakar melaksanakan wasiat Tsabit seraya berkata, “Kami tidak mengenal seorang pun yang wasiamya dilaksanakan setelah ia meninggal dunia selain Tsabit bin Qais.” Begitulah yang disebutkan Abu Amr.

Khalid bin Walid, Abu Bakar, dan para sahabat lainnya sepakat untuk melaksanakan wasiat yang disampaikan lewat mimpi itu dan mengambil baju besi dari orang yang mengambilnya. Semua ini menunjukkan kedalaman pemahaman mereka.

Abu Hanifah, Ahmad, dan Malik bisa menerima pernyataan pihak yang mengadu dari suami istri yang memang baik baginya meskipun tidak baik bagi yang lain, dengan mempertimbangkan kejujuran pihak yang mengadu itu, dan ini lebih utama. Begitu juga Abu Hanifah menerima pernyataan pihak pengadu atas suatu kebun dengan adanya penyewa kepada tetangganya dan adanya tali pembatas.

Allah menetapkan hukuman had bagi seorang perempuan berdasarkan sumpah suami dengan disertai bukti atau petunjuk yang menguatkannya. Sesungguhnya, hal itu menunjukkan dalil yang nyata dari kejujuran sang suami. Lebih dari itu, memvonis terdakwa pembunuhan yang dilakukan berdasarkan qasamah,s dapat dilakukan dengan sumpah dari pengadu disertai bukti atau petunjuk berupa faots.6 Allah     juga menetapkan untuk menerima perkataan pihak pengadu atas harta waris dari keluarga mereka yang meninggal jika ahli waris tersebut meninggal dalam perjalanan sementara ia berwasiat kepada dua orang laki-laki nonmuslim. Jika ahli waris menyangsikan pengkhianatan dua orang itu, keduanya bisa diminta untuk  bersumpah atas nama Allah dan keduanya lebih berhak. Sumpah keduanya lebih diprioritaskan daripada sumpah ahli warisnya. Begitulah yang difirmankan Allah di akhir surah al-Ma’idah dan termasuk ayat-ayat yang terakhir turun sehingga tidak mansûkh (dihapus) dan dilaksanakan para sahabat. Hal ini merupakan dalil tentang penetapan dalam perkara harta dengan meng- gunakan al-lauts (tanda-tanda penguat). Jika penetapan darah (hukum pembunuhan) saja bisa dilakukan dengan al-lan fs berdasarkan qasamah (pembuktian), penetapan dalam masalah harta lebih memungkinkan ditetapkan berdasarkan al-lau fs (tanda- tanda penguat) dan petunjuk. Atas dasar inilah para pemegang kebijakan menarik barang curian dari tangan para pencuri. Akibatnya, banyak orang yang mengingkari hal ini, mereka meminta tolong kepada mereka jika barangnya dicuri.

Allah telah mengisahkan tentang seorang saksi yang memberikan kesaksian dalam kasus Nabi Yusuf  yang jujur dan istri Aziz bahwa saksi tersebut memutuskan perkara berdasarkan petunjuk atau indikasi dari kejujuran Nabi Yusuf N dan kebohongan wanita itu. Allah tidak mengingkari hal tersebut, bahkan mengisahkannya sebagai bentuk pengakuan Allah atasnya.

Nabi Muhammad mengabarkan tentang Nabi Sulaiman bin Daud m bahwa Nabi Sulaiman % memutuskan perkara kasus dua wanita yang berebut bayi, berdasarkan petunjuk yang ditangkap Nabi Sulaiman m ketika berkata, “Ambilkan aku pedang! Aku akan membelah bayi ini menjadi dua dan membagikannya kepada kalian berdua.” Alhasil, wanita yang lebih tua berkata, “Ya, aku setuju dengan keputusan itu.” Ia merasa gembira karena lawan perkaranya akan kehilangan bayi. Adapun, wanita yang lebih muda berkata, “Jangan!” Pasalnya, bayi itu memang anaknya. Akhirnya, Nabi Sulaiman % menyerahkan bayi itu kepada wanita yang kedua karena melihat adanya rasa cinta dan kasih sayang dalam hatinya. Adapun wanita yang pertama tersipu malu sambil memandangi bayi itu.

Semua ini menunjukkan keputusan hukum yang terbaik dan adil. Syariat Islam mengakui penetapan hukum seperti ini dan mempersaksikan kebenarannya. Apakah penetapan hukum berdasarkan cara al-qiyâfah’ dan penisbatan keturunan yang didasarkan pada perbandingan kemiripan juga bisa diterima meskipun banyak hal yang tidak bisa diketahui? Artinya, qarînah (petunjuk) yang berkaitan dengan mimpi Auf bin Malik dan masalah Tsabit bin Qais tidak hanya terbatas pada petunjuk ini, tetapi hal itu lebih kuat dari sekadar petunjuk dalam kisah-kisah ini.
Jika orang yang sudah meninggal dunia bisa mengetahui hal-hal yang detail dan rinci tentang apa yang terjadi di dunia, pantaslah jika ia mengetahui orang hidup yang mengunjungi makamnya, mengucapkan salam, dan berdoa.
Share:

Total Tayangan Halaman

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Artikel lain